BUKAN KALENG-KALENG

Oleh : Malikatul Khamdiyah*

Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi karena ada kesempatan. Waspadalah…waspadalah…waspadalaaaaaah !” (Bang Napi)

            Kesempatan….

            Kayaknya bukan cuma kejahatan yang bisa terlaksana karena kesempatan. Aku percaya kalau hal – hal yang baik bisa terjadi juga karena kesempatan. Kalimat sederhana dari Bang Napi yang dulu setiap hari terdengar olehku seusai menyaksikan tayangan berita kriminal ini ku anggap sepele dan tak berarti apapun. Sekedar angin yang berlalu, kosong melompong, tak mempengaruhi apapun, meskipun terkadang menyegarkan jika menerpa wajah yang sedang lelah.

            Sekarang aku merasa bahwa kalimat ini maknanya dalam juga. Kenapa bisa gitu ? ya karena pengalaman dan momen yang tepat untuk mengartikan hal – hal yang tersirat ini. Bayangkan, bahkan niatpun tak berarti apa – apa, tak berguna, jika tak ada kesempatan yang diberikan.

            Kisah ini bermula ketika aku berada di semester IV Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Sumatera Utara. Aku mengambil mata kuliah Administrasi Keuangan Negara dan setelah Ujian Tengah Semester Sang Dosen menggunakan metode dimana mahasiswa diharuskan membuat makalah dan melakukan presentasi dengan kelompoknya. Tibalah saatnya pemilihan tema melalui undian, aku maju mewakili kelompokku dan aku mengambil satu gulungan yang terdekat kemudian aku kembali menghampiri kelompok ku untuk membuka gulungan kertas tersebut.

” Apa tema kita?” Tanya Yeni dengan bersemangat.

” Kemiskinan” , ucapku setelah membuka gulungan kertas undian tema.

“Yaaah, luas kali lah pembahasannya nanti,” Kata salah satu anggota kelompok kami yang aku lupa namanya saat cerita ini ku tuliskan.

“Iyakan ya ? Tukaran aja sama kelompoknya Ema. Dia dapet BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Aku udah nguasain materi itu” Aku memberi saran.

            Akhirnya kamipun menghampiri kelompok Ema dan menyampaikan maksud dan tujuan kami, namun ternyata kami tidak berhasil membujuk kelompok Ema. Akhirnya kami menerima kenyataan kalau bahasan dari tema makalah kami sangat luas dan tidak ada habisnya bila dibahas nanti. Harus berusaha membuat makalah yang terbaik, karena kelompok yang terbaik tidak akan mengikuti Ujian Akhir Semester nantinya.

            Dua hari berikutnya, kami mulai berdiskusi mengenai judul dan studi kasus dari kemiskinan.

“Apa ya judul kita?” Tanya Eby

“ Ini aja, pengaruh tingkat pendidikan terhadap kemiskinan” Usul Jessica

“Terlalu ribet nelitinya, tersinggung pula nanti narasumber kita. Kenapa miskin? Karena gak punya kerjaan yang layak. Kenapa gak punya kerjaan yang gak layak? Karena tingkat pendidikannya rendah. Kenapa tingkat pendidikannya rendah? Karena miskin…..” aku menanggapi usulan Jessica.

“Iya, itu udah kaya lingkaran setan yang gak tau solusinya. Kayak mana coba memutus kemiskinan?” Yeni pun ikut menimpali.

“Cara memutus kemiskinan cuma satu Yen, Beasiswa BIDIKMISI. Mottonya aja memutus mata rantai kemiskinan.”  jawabku

“Haha, bener juga kau tul, nanti kalo ditanya studi kasusnya kaulah yaaaa..” jawab yeni sekenanya.

“Kalau ditanya contoh kemiskinan, kita jawab aja kami semua. Tengoklah muka – muka kita weee, hahaha” Jawab Jessica mulai bercanda.

“ Aduuuh kelen ini ya, bangga kalipun jadi orang miskin. Hahaha ” Deminar pun menambahi

            Pada hari itu, kami berdiskusi tanpa mendapat solusi. Aku lupa bagaimana mulanya, akhirnya kami dapat menentukan judul yang disetujui dosen kami yaitu faktor – faktor kemiskinan di Belawan. Asal pembaca tahu ya, Belawan merupakan salah satu daerah diujung kota Medan dan disana terdaapat pelabuhan serta perindustrian yang cukup banyak. Belawan dikenal sebagai daerah yang memprihatinkan, meskipun selama hampir dua tahun aku kuliah disini, aku hanya mendengar cerita dan belum pernah berkunjung kesana.

            Sesuai dengan waktu yang kami tentukan, akhirnya kami berkunjung kesana untuk melakukan wawancara. Untuk sampai disana kami menggunakan angkutan umum dengan jarak tempuh satu jam,maklum kami anak rantau jadi tidak ada yang memiliki sepeda motor di tempat kami studi ini. Perjalanan yang membuatku mual karena kondisi jalan yang sangat buruk, berbeda jauh dengan jalanan di Kota Medan.

            Akhirnya tibalah kami di sudut lain Kota Medan. Tepatnya di sebuah desa bernama Nelayan Seberang, Kecamatan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara demi mengerjakan tugas. Rasanya seperti bermil-mil jauhnya dari Kota Medan. Padahal tempat ini adalah tempat yang tidak cukup jauh dari pusat segala kehidupan kota bernama Medan. Tempat yang dapat dijangkau hanya dalam waktu satu jam ditambah lima belas menit menggunakan perahu mesin berkuota maksimal 15 orang. Tetapi agaknya fasilitas dan pembangunan kota Medan belum sampai kesini. Semuanya serba pas – pasan.

Tetapi inilah kenyataan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, yang mungkin kata orang itu adalah tempat terpelosok, meski aku tidak benar-benar tahu makna terpelosok dalam konteks ini.Yang aku tahu, ini adalah bagian dari Indonesia, tempat dimana aku ditakdirkan lahir meski sampai saat ini belum mampu memahami Negeriku sendiri, Negeri yang subur dimana tongkat dan batu bisa jadi tanaman. Luar biasa bukan negeriku ini ? negeri yang tak bisa kupahami dari susdut manapun, karena jika dilihat dari sudut yang berbeda – beda maka tidak akan menemukan satupun hal yang sama.

Kembali lagi ke desa ini, desa yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai buruh nelayan. Jika dilihat dari rumah-rumah disini, mungkin sudah terlihat cukup baik meskipun bukanlah rumah permanen alias terbuat dari papan dan parahnya lagi rumah – rumah mereka berada diatas air laut yang telah berwarna hitam akibat sampah, jika air laut sedang pasang maka rumah yang tiangnya rendah akan terendam air dan baru satu minggu bisa menghilangkan aroma menjijikkan dari air laut yang telah terkontaminasi dengan sampah rumah tangga maupun limbah manusia. Meskipun wilayah Indonesia terdiri dari 2/3 bagiannya air tetapi untuk mendapatkan air bersih disini sangatlah sulit, mereka harus membelinya. Kalian bisa melihat Film yang kondisi pemukimannya hampir serupa yaitu Film Thailand berjudul Teacher Diary. Bedanya, desa Nelayan Seberang lebih baik karena tidak ada jarak yang jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Semacam berada di satu daratan, daratan yang mereka buat sendiri dengan kayu.

Berbicara soal sekolah di Medan yang sampai ratusan, disini mungkin kita hanya dapat menemui satu Sekolah Dasar. Bisakah kalian bayangkan ? Untuk melanjutkan ke SLTP mereka harus menyeberangi laut selama lima belas menit dengan ongkos yang cukup mahal bagi mereka, yaitu Rp.6.000,- untuk pulang dan pergi. Belum lagi untuk membeli buku dan peralatan sekolah lainnya. Hampir menangis rasanya ketika mendengar cerita salah satu warga yang menceritakan bahwa anaknya lebih baik mencari ikan bersama Ayahnya daripada harus sekolah. Hanya orang – orang kaya saja yang bisa sekolah tinggi menurut persepsi mereka, SD sudah cukuplah, yang penting bisa baca dan tulis.

Ditempat yang sepertinya belum terlalu pelosok dari Kota Medan. Tidak banyak yang punya impian tentang dirinya sendiri apalagi tentang daerahnya. Semua terlalu pesimis untuk memimpikan sesuatu, terbelenggu dengan keadaan desa yang pas – pasan tanpa impian. Tapi benar juga. Bagaimana mungkin mereka membangun mimpi atas permasalahan yang terjadi di desanya jika semua dianggap baik-baik saja? Ini bukan salah mereka tidak memiliki ambisi untuk membangun desa jika mereka sendiri tidak mengerti apa yang harus dibangun dengan semua hal yang sudah sejak lahir dihamparkan didepan mata.

Ini semua soal kesempatan dimana mereka dapat melihat bahwa ada tempat dimana rumah tidak berada diatas air, dimana angkutan umum tersedia setiap menit, dimana terdapat banyak sekolah yang bisa dipilih sesuai keinginan mereka tanpa takut memikirkan biaya transportasi yang mahal, dimana mereka bisa memimpikan dan mewujudkan impian yang dimiliki.

Dalam hal ini, kita tidak berbicara soal jarak, tetapi ini soal kesempatan untuk berkembang. Kesempatan yang dianggap mereka hanya milik orang kaya. Kesempatan yang seharusnya berani mereka perjuangkan. Kesempatan yang seharusnya bisa mengubah pola pikir. Kesempatan yang seharusnya bisa menggapai impian. Kesempatan yang seharusnya bisa memilih.

Mengutip nasihat Abahku, bahwa burung terbang dengan sayapnya sedangkan manusia terbang dengan cita – cita, dengan impiannya. Tapi kalimat ini sulit sekali tersugesti untuk mereka, mereka yang tidak punya impian, mereka yang takut bermimpi dan mereka yang tidak ingin mencoba untuk bermimpi, karena keadaan dan kesempatan yang mendorong mereka tetap berada di lorong gelap. Ya, karena mereka tidak memiliki pilihan.

Untuk kamu yang mengaku memiliki impian, tetaplah bermimpi dan berusaha menggapainya. Untuk kamu yang mengaku cinta pada Indonesia, mari bergerak bersama menebar dan membangun impian bagi mereka yang belum memiliki kesempatan akan indahnya memiliki impian. Asal kalian tahu hidup yang bahagia itu bukan sekedar bisa hidup bersama dengan orang yang kita cinta, tapi bagaimana kita bisa menghadirkan cinta pada orang – orang yang tidak mencintai sesuatu, termasuk impiannya. Karena ini soal impian dan kesempatan, bukan soal kaleng – kaleng yang ditendang terus bunyi klenteng tanpa ada orang yang peduli.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment