WALAUPUN CITAKU TAK SEINDAH MIMPIKU

Oleh : Agi Nurhayati*

Hidup memang tak selalu seperti yang kita khayalkan. Terkadang hidup lebih buruk dan terkadang pula justru lebih indah dari yang kita harapkan. Perkenalkan, namaku Agi Nurhayati. Sekarang aku duduk sebagai salah satu mahasiswa di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Aku sendiri telah banyak membuktikan ungkapan “Cita tak selalu seindah mimpi”. Mulai dari menjajaki dunia pendidikan di bangku Sekolah Dasar hingga sekarang aku menjadi seorang mahasiswa yang pada dasarnya adalah salah satu cita-cita yang lebih indah dari mimpiku.

Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ibu dan ayahku bekerja sebagai pedagang. Barang dagangan yang mereka jualpun masih sering berubah-ubah hingga sekarang. Dari jual mie, rujak, jamu, mainan anak-anak, es krim, dan sekarang Alhamdulillah ayahku jualan sembako yang beliau pasarkan ke beberapa warung di seputaran kota Sidikalang, kota tempat tinggalku.

Selain kehidupan kami yang serba susah dulu,ada lagi yang membuat aku tak pernah bisa melupakan kenangan pahit. Di usiaku yang sepatutnya sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian orang tuaku, aku sudah harus menyaksikan hampir retaknya rumah tangga kedua orang tuaku yang baru kupahami sekarang, hal itu disebabkan keegoisan ayahku. Namun saat itu Allah masih sayang kepadaku dan keluargaku. Allah membukakan hati kedua orang tuaku untuk dapat berubah menjadi orang tua yang terbaik untukku dan adik-adikku. Dari kenangan pahit itu, walaupun mimpiku memiliki keluarga yang bahagia dan berkecukupan, tapi aku bertekad dan bercita-cita untuk mengubah nasib kedua orang tuaku. Karena bagiku, doa orang tua dan senyum dari keduanyalah yang sangat aku mimpikan hingga saat ini.

Aku sendiri tidak pernah merasakan bagaimana indahnya bermain bersama teman-teman di kelas Taman Kanak-kanak. Bahkan aku masih ingat membaca dan menghitung dulu kupelajari secara otodidak, orangtuaku yang mengajariku dengan susah payah. Tapi dari situ, aku tidak pernah merasa malu walaupun cemoohan dan ejekan dari tetanggaku yang sering terlontar sempat menggoyahkan semangatku. Dari situ, semangatku semakin berkobar  untuk membuktikan, tidak selamanya anak-anak yang duduk di bangku TK lebih pintar daripada anak-anak yang hanya belajar dirumah.

Hingga pada saatnya kasih sayang Allah begitu besar kepadaku.Walaupun pada awalnya akulah orang yang paling dikhawatirkan guru-guru di sekolahku, karena aku tidak pernah paham cara menulis. Jangankan menulis, cara menggunakan alat tulispun aku tidak pernah paham saat itu. Namun berkat kegigihanku untuk terus berlatih dan ditambah semangat yang menggelora untuk mewujudkan mimpiku menjadi anak yang suskes, sedikit demi sedikit prestasi-prestasipun sering kuraih di bangku Sekolah Dasar. Aku sering mendapat penghargaan juara perlombaan mengarang, berpidato di depan umum, dan bahkan aku pernah mendapat bantuan biaya pendidikan bagi siswa berprestasi dari pemerintah kabupaten tempat tinggalku. Senang tercampur haru, itulah yang kurasakan saat itu. Karena disitu aku mulai bisa membuktikan walaupun keluargaku hidup serba kesusahan, tidak pernah menyurutkan semangat untuk selalu berkarya dan berprestasi demi mewujudkan mimpi. Bahkan kalau diingat-ingat dengan semangat itu pula dulu aku harus berjalan kaki sejauh lima kilometer jauhnya untuk menuju sekolahku. Lebih dari itu, aku semakin bertekad untuk membuktikan tidak selamanya anak perempuan itu harus dipingit di rumah dan ditunggu hingga dilamar nantinya.

Menginjak bangku SMP, aku pernah bermimpi menjadi siswa yang berprestasi dengan mendapat juara pertama umum mengalahkan 278 siswa lainnya dan membanggakan orangtuaku, bermimpi mereka menangis terharu dengan keberhasilanku itu. Tapi sekali lagi, yang aku dapatkan memang tak selau seindah mimpi yang kuharapkan. Walaupun tidak juara pertama, setidaknya aku bisa mendapat juara enam umum dan mendapat penghargaan dari kepala sekolahku serta didampingi ibuku saat itu. Tangis kebanggaan orang tuaku pun mengalir, aku masih ingat dulu saat itu beliau memelukku karena prestasi yang menurutku jelas terasa lebih indah dari mimpi yang pernah kuharapkan.

Di bangku SMA, aku termasuk siswa yang dikenal paling dekat dengan guru-guru. Maka tidak heran bila segala kegiatanku selalu didukung penuh oleh mereka. Karena keterbatasan ekonomi keluargaku, segala upaya pernah kulakukan. Mengingat biaya sekolah di tempatku sangatlah mahal, dimana di dalamnya diisi oleh orang-orang yang berada dikalangan elit.Tapi aku tidak pernah malu dan minder dengan hal itu. Berbagai usaha pernah kujalani, mulai dari jualan bakso goreng  sampai dengan pelayan di berbagai tempat makan di kota tempat tinggalku. Uang yang kudapatkan selalu aku serahkan kepada ibuku untuk membantu biaya sekolahku. Walaupun dengan biaya itu sangat membantu orang tuaku, kali ini kasih sayang Allah kembali tercurah berlipat-lipat ganda kepadaku. Berbagai bantuan biaya pendidikan berprestasi pun sering aku dapatkan. Rasa syukur tak henti-hentinya aku haturkan kehadirat Allah SWT.

Berlipat-lipat ganda rahmat Allah yang aku dapatkan saat itu. Beasiswa BIDIKMISI dapat kuraih berkat uluran tangan pihak-pihak yang berhati mulia seperti guruku. Mereka semua membimbing dan menyemangati aku, serta meyakinkan aku bahwa kuliah bukan hanya untuk orang-orang yang “berduit” tapi juga untuk orang-orang yang punya tekad dan mimpi yang besar.

Di waktu SMA dulu pernah juga terbesit di hatiku rasa dengki dan iri dicampur pesimis melihat aku tidak bisa duduk mengikuti bimbingan belajar tambahan bersama teman-temanku diluar sekolah karena faktor biaya. Seakan sudah terbiasa otodidak, aku belajar sungguh-sungguh di rumah dan meyakinkan diri bahwa Allah akan menentukan yang terbaik bagi hamba-hambanya.

Memasuki masa pendaftaran SNMPTN undangan, aku sudah bertekad kuat untuk bisa kuliah di salah satu universitas yang sudah kulirik mulai aku duduk dibangku SMP dulu yaitu Universitas Gajah Mada, khususnya jurusan Matematika. Karena saat itu aku bermimpi ingin menjadi seorang dosen Matematika. Sebagian orang pasti bertanya, mengapa harus Matematika, jawabannya adalah aku suka menghitung, aku suka angka, aku selalu mengandalkan otak kiri ku dalam hal apapun, dan logikaku seakan hanya mengarah ke urusan Matematika. Oleh karena itu pula, dibangku SMA dulu aku pernah tergabung menjadi salah satu peserta olimpiade Matematika mewakili sekolahku. Walaupun juara tidak pernah aku dapatkan saat itu, tapi terpilih menjadi salah satu peserta mewakili sekolah dulu sudah cukup menjadi prestasi bagiku demi mengasah kemampuan logika menghitungku.

Tapi semua kembali tidak sesuai yang kuharapkan. Frustasi dan kegelisahan yang kurasakan ketika mendengar aku gagal  SNMPTN. Dari keputusan penting itu, pernah terbesit dihatiku untuk tdak kuliah dan pasrah akan cemoohan orang-orang yang sering menentang pernyataan bahwa perempuan tidak seharusnya kuliah.

Begitu indah jalan yang diberikan Allah memang. Pernah disuatu malam aku bermimpi bahwa aku duduk dibangku kuliah. Dari mimpi itu aku berpikir dan merenung jangan sampai kegagalan pertama itu menghancurkan mimpi yang sudah kurancang dari awal. Dari situ aku berpikir, apa yang akan kudapatkan bila aku hanya menganggur di rumah dan selalu bergantung kepada kedua orang tuaku. Tapi disamping itu semua, rasa pesimis sering menyelimuti hatiku untuk ikut SBMPTN, mengingat waktuku yang hanya kurang dari dua minggu, dan aku harus mulai belajar secara otodidak kembali di rumah dibandingkan dengan teman-teman sekaligus saingan-sainganku di pertempuran SBMPTN tulis yang penuh persiapan dari bimbingan belajar yang sudah mereka ikuti sejak dua bulan lamanya.

Namun aku selalu mengingat kata-kata dari ayahku,”Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah sudah berkehendak”. Dari situ aku yakin, berkat kasih sayang Allah dan doa orang tuaku, aku bisa lulus di SBMPTN yang sangat aku harapkan menjadi jalan terakhirku menuju bangku kuliahku.

Sungguh bertubi-tubi limpahan rahmatNya, Allah membuka jalan bagiku. Dua hari menuju pendaftaran terakhir SBMPTN,  aku mendaftar melalui salah satu warung internet yang jaraknya satu kilometer dari rumahku dan akupun harus berjalan kaki menuju kesana. Jujur saja kakiku bergetar dan hatiku gundah, mengingat pilihan jurusan apa yang harus aku ambil bila melihat persiapanku menuju PTN yang tidak sepenuhnya siap. Berkat bimbingan dan arahan dari guru SMA yang turut membantuku proses pendaftaran SBMPTN, aku menetapkan Fakultas Kesehatan Masyarakat sebagai pilihan pertamaku. Pertimbangan yang aku lihat waktu itu adalah daya tampungnya yang cukup menggiurkan bagiku. Tidak terlintas sedikitpun saat itu bahwa kesehatan adalah hal yang harus memaksa kita rajin membaca dan menghapal, padahal hal itulah yang paling aku hindari selama aku sekolah dari SD sampai SMA dulu. Yang terlintas dipikiranku saat itu adalah aku bisa mengisi hari-hariku dengan kuliah dan tidak menyusahkan orang tuaku dirumah.

Dosen Matematika adalah cita-cita awalku. Tapi sekali lagi, semuanya hanya harapan. Saat ini aku kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan sangat tidak berhubungan dengan cita-citaku. Walaupun pada awalnya aku bingung dan agak susah beradaptasi karena harus rajin membaca dan menghapal, akhirnya pintu pikiranku dibukakan olehnya. Aku juga tidak kalah dengan orang-orang yang memang sudah awalnya suka dengan bagian kesehatan. Predikat cumlaude juga masih bisa kusandang hingga saat ini. Mulai saat ini aku mulai merasa FKM sudah mulai merasuk ke hatiku dan menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

Saat ini aku  sudah bermimpi menjadi salah satu dosen FKM di Universitas Diponegoro, Universitas tempat kelahiranku, Jawa Tengah. Kali ini aku berjanji, bahwa cita-cita yang satu ini akan terwujud lebih indah dari mimpiku. Aku yakin, dengan doa dan usaha yang keras, serta hati yang ikhlas, Allah akan meunjukkan jalannya kepada kita.

Dari ceritaku ini,ada beberapa hal penting yang wajib kita sadari. Kita manusia biasa hanya bisa berencana, bermimpi, dan bercita-cita. Segala sesuatunya Allah yang menentukan. Memang terkadang selama hidup ada hal-hal yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan, ada kalanya kita kecewa, ada kalanya pula kita senang dan bangga. Jangan pernah berkeluh kesah dan berputus asa, terkadang harapan yang tidak sesuai itulah jalan terbaik yang diberikan Allah kepada kita. Teruslah bermimpi, teruslah berkarya, dan teruslah berprestasi, jangan biarkan ekonomi menghalangimu, jangan  biarkan kondisi menguasaimu, dan teruslah ukir prestasimu, InsyaAllah semua akan terwujud.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment