BERJUANG DALAM KETERBATASAN

Oleh : Rini Lestari*

Kisah ini diawali dari awal masa SMA, tentang perjalanan seorang pemimpi. Anak ini masih polos dan masih belum mengerti tentang bagaimana dunia yang sebenarnya bahkan tentang dirinya sendiripun anak ini masih  buta, apa bakat yang ada dalam dirinya, keinginan-keinginannya dan tujuan hidupnya. Anak itu adalah “Aku”. Mungkin aku menyadari bahwa aku masih dalam tahap remaja yang memiliki emosional naik turun dan cenderung  kurang serius. Hingga pada suatu momen yang membuatku berada dititik yang benar-benar membuatku berpikir. Ya, pada hari itu sekolahku membuat angket minat dan bakat yang akan diberikan kepada siswa SMA kelas X. Di angket itu sudah pasti memuat data-data pertanyaan tentang profil siswa, minat dan bakat yang dimiliki oleh para siswa. Untuk mengisi data profil diri sendiri bukanlah hal yang sulit bagiku. Namun, ketika aku berada pada pertanyaan minat dan bakat tersebut aku berhenti begitu lama, ya untuk berfikir tentunya. Untungnya, bukan hanya aku yang menemukan kebingungan, para siswa lain juga begitu, sehingga kami diperbolehkan untuk membawa pulang data angket tersebut untuk dibawa pulang ke rumah untuk dilengkapi dan dipikirkan secara matang.

Baru kali ini aku tampak begitu bingung hanya karena harus memaparkan diriku sendiri dalam sebuah tulisan. Aku berpikir mau jadi apa nanti? Aku tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa aku tertawakan atau sepelekan. Sebenarnya aku berada pada pertanyaan “Apakah anda akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi?”. Pertanyaan itu saja sudah membuatku bingung. Aku tidak berpikir realitas yang dipikirkan oleh pihak sekolah, aku hanya berpikir realitas yang ada dalam pikiranku saja, pihak sekolah tentunya hanya membutuhkan jawaban “ya” atau “tidak” sementara aku memikirkan “Bagaimana aku bisa kuliah, kuliah itu kan mahal, apa mungkin aku mampu? Sulitkah kuliah itu? Tapi aku ingin kuliah…” Dari pemikiran itu seharusnya pula aku bisa menjawab “ya”, karena pihak sekolah tidak menanyakan aku sanggup atau tidak. Dengan segala keyakinan yang di ambang keraguan itu aku melingkari kata “ya”.

 Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya aku pikirkan dengan lebih keras lagi hingga selesai. “Dimana akan kuliah? Jurusan yang diinginkan? Ingin menjadi apa kelak? Hobi yang dimiliki dan lain-lain”. Angket sekolah itu benar-benar membuatku berpikir. Selama ini aku menganggap bahwa segala sesuatunya akan mengalir seperti air dan aku akan ikut terhanyut dalam air itu agar tetap berada di zona nyaman tanpa harus repot-repot melawan arus deras yang berada didepan atau dibelakangnya. Apakah harapan-harapan yang aku tuliskan dalam angket itu sudah benar dan bisa aku dapatkan? Apakah cita-cita yang aku tuliskan dalam angket itu bisa wujudkan? Dari pemikiran itu aku menemukan titik temu. Ya, aku tidak bisa bermain-main lagi, masa ini adalah masa yang harus aku perjuangkan untuk bisa mendapatkan harapan-harapan, karena aku yakin dari harapan-harapan itu aku bisa mewujudkan cita-citanya, itulah keyakinan yang berhasil aku bangun dalam diri. Tapi, tetap saja aku masih berpikir tentang realitas kehidupannya.

Hidup di keluarga sederhana awalnya membuatnya minder dan pesimis, memiliki tiga adik yang usianya tidak terpaut jauh semakin membuatku pesimis. Jika aku tidak menjadi apa-apa hal ini tentu akan menjadi contoh yang kurang baik bagi adik-adikku, mereka akan kurang termotivasi. Sementara jika aku mencobanya, aku akan menjadi penutup jalan bagi adik-adiknya. Biaya pendidikan sekarang tidaklah murah, jika aku mengkalkulasikan jumlah penghasilan ayah dengan biaya dan kebutuhan yang harus dicukupi seluruh anggota keluarga masih kurang. Belum lagi dengan permintaanku yang ingin kuliah, hal ini membuat ibu hanya bisa memberiku kata “Semogaa Rin bisa kuliah” kata beliau. Kata itu sedikit menghibur meski masih samar-samar jika kupikir-pikir lagi. Akankah cita-citaku harus terhalang oleh terbatasnya materi? Tapi sekali lagi aku mengaburkan pikiran tersebut, aku tersadar bahwa rezeki itu hanya milik Allah dan Allah yang mengetahuinya, jika aku selalu bersama-Nya aku pasti tidak akan sebimbang ini. “Ya Allah, bagaimana ini? Sesungguhnya aku telah mendustakan nikmat yang Engkau berikan. Aku meragukan kemurahanMu. Betapa berdosanya aku, ampuni aku Ya Allah.” gumamku.  

Aku merupakan seorang anggota Pramuka di sekolah, aku amat mencintai Pramuka, bagiku Pramuka adalah jalan hidupku. Aku seperti menemukan diriku ketika aku berada di dalamnya. Sedih, susah dan senang, pengetahuan-pengetahuan yang tidak didapatkan siswa-siswa lain dalam jadwal belajar sekolah, aku menemukannya disini. Menjadi orang yang lebih mandiri, tegas, dan berwawasan luas. Itu yang aku temukan dalam Pramuka. Karena Pramuka aku bisa pergi ke tempat-tempat yang mungkin tidak kupikirkan sebelumnya. Kegiatan-kegiatan cabang rajin kuikuti hingga aku bisa mengikuti kegiatan daerah bahkan sampai tingkat Nasional. Tinggal selangkah lagi menuju pramuka Internasional. Rasa cintaku untuk tanah airku bukanlah hal main-main, ketika teman-teman lain mengatakan bahwa tanah airnya ini begitu rapuh, bodoh dan kolot, aku begitu marah namun memendamnya. “Tidak! tanah airku ini indah, orang-orangnya pintar, tidak kolot. Hanya perlu sedikit perubahan saja,” gumamku.

Rasa percaya diri perlahan-lahan aku dapatkan, aku semakin yakin apa yang menjadi keraguanku aku pasti bisa menghancurkan keraguan tersebut menjadi keyakinan. Aku hanya perlu bertahan dan berubah menjadi lebih baik, aku yakin apa yang menjadi harapanku mampu kudapatkan, apa yang kucita-citakan mampu kuwujudkan. Aku hanya perlu 3+1 hal : Yakin, Usaha dan Sampai + Doa. Kepercayaan ini kudapatkan karena terinspirasi dari kisah-kisah kakak-kakak Pramuka ketika berkegiatan. Sharing yang benar-benar menginspirasiku. Mereka adalah orang-orang yang berhasil dalam keterbatasan yang dimiliki. Mereka bisa, maka aku juga bisa. Ya, harus yakin.

Apa yang menjadi keyakinan benar-benar kuperjuangkan, hingga aku mencapai satu harapan dalam daftar targetku. Aku berhasil melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Universitas ternama, dengan jurusan yang sesuai dengan angketku dulu. Ini bukanlah perjuangan yang mudah, memikirkan aku hanya berasal dari sekolah yang tidak terkenal dan biasa-biasa saja. Tapi aku mampu menembusnya. Tidak hanya itu, aku juga memetik buah manis lain, aku mendapatkan beasiswa BIDIKMISI, dimana mahasiswa dapat kuliah dengan gratis dan mendapatkan bantuan dana secara rutin. Syaratnya hanya perlu belajar dengan baik dan berasal dari keluarga menengah kebawah. Ini bukanlah sesuatu yang aku duga, namun membuatku sangat bersyukur.

Ungkapan terakhir yang dapat kutuliskan dalam diariku hari ini adalah kehidupan seorang manusia sebenarnya tidaklah seruwet dan serumit yang dibayangkan, hanya saja dalam prakteknya kalimat ini tidak berlaku dan bahkan tersingkirkan, karena yang dirasakan justru adalah sebaliknya, hidup ini rumit, ruwet dan memusingkan. Ini adalah satu paket keluhan yang seharusnya benar-benar dihindari meskipun sebenarnya memang telah sesak dirasakan, dan hal itu tidak bisa kupungkiri bahwa aku juga benar-benar merasakannya. Aku mendapatkan satu pelajaran disini. “Kamu tidak perlu mengeluh tentang apa yang menjadi kesulitanmu. Yang kamu butuhkan keyakinan agar keluhan yang kamu rasakan berubah menjadi keyakinan. Syukuri yang ada dalam dirimu dan kehidupanmu, karena kamu tidak hanya perlu melihat keatas, tapi juga kebawah agar kamu tahu bahwa nikmat yang diberikan Tuhan kepadamu jauh lebih besar dibanding mereka yang untuk mendapatkan sesuap nasipun sangatlah sulit”  Bersyukur adalah salah satu keputusan yang paling tepat ketika kamu menemukan kegalauan. Apalagi Allah sangat menyukai orang-orang yang bersyukur.

Ini adalah perjuangaku hari ini, dan aku masih perlu berjuang lagi untuk kedepan. Jalan didepan masih samar-samar terlihat. Bukan berarti jalan itu akan mulus, bisa jadi akan lebih sulit dibandingkan yang sebelumnya. Aku sadar bahwa aku baru mendapatkan sebaris target harapan-harapanku tapi belum cita-citaku. Jika untuk mendapatkan harapan saja sudah sulit, untuk mewujudkan cita-cita pasti bukanlah hal yang mudah pula. Maka dari itu jadikanlah harapan-harapan yang sudah didapat itu sebagai amunisi yang baik untuk membidik cita-citamu dititik yang tepat. Aku berharap segala sesuatunya dapat aku lalui, menjadi seorang Psikolog dan memberikan senyum kebahagiaan kepada orang tua yang begitu kucintai. Kabulkanlah Ya Allah. Aamiin.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment