SUNGGIAN EMAK

Oleh : Susanto*

Malam itu, angin dan hujan seperti berlomba-lomba datang bersamaan untuk mengusik tidurku. Bukan nyenyak yang kurasakan, melainkan enggan untuk melanjutkan. Emakku pun membantu angin dan hujan untuk mengusik tidurku. Emakku memanggilku tiga kali. Lalu diam. Aku dengar persis suaranya. Samar-samar. Karena beradu dengan angin dan hujan. Saat itu hanya sedikit cahaya yang memancar. Lampu padam malam itu. Cahaya sentir yang hanya menerangi. Malam itu pukul dua pagi. Aku ingin menghiraukan panggilan itu. Kucoba berputar mengarah suara itu dengan melirik sedikit. Karena aku sudah tahu mengapa Emak memanggilku. Aku terdiam dalam lamunan. Berpikir, jika Emak saja yang akan menampung air hujan karena atap tambalan, aku tak akan tega. Walau hampir setiap malam hal itu ku lakukan. Melawan air hujan agar tidak membanjiri gubuk kami. Aku bangkit, mendatangi Emakku dan membantu untuk menampung tiga belas buah titik air bocoran dengan ember. Emak, maafkan aku, anakmu.

***

Aku duduk di kelas IX di SMP Negeri  1 Besitang.  Biaya untuk melanjutkan SMP ku juga dari kakak dan abang. Itu pun hanya biaya pendaftarannya. Untuk biaya yang lain, emak, bapak, abang dan kakak juga pontang panting untuk mencarikannya. Aku merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara. Aku memiliki dua abang dan empat kakak, yang semuanya gagal dalam pendidikan. Semua karena keterbatasan biaya. Mereka hanya sampai bisa membaca dan menghitung saja.  Alhamdullilah sekarang mereka semua sudah menikah.

Pukul 04.30 WIB, aku pun harus melawan kantukku setiap hari. Untuk memulai aktivitasku. Tidak ada pembeda musim bagiku. Mau itu musim hujan, musim panas, musim rambutan, musim kawin sekalipun, tetap saja pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolah  sekitar 19 kilometer. Tidak begitu jauh bagiku, jika itu kulangkahkan tiap hari pulang pergi. Sengaja aku harus bangun pagi. Karena aku harus pergi dimana mentari sekalipun belum muncul, yaitu 5.30 WIB usai Shubuh . Alasannya agar aku bisa datang ke sekolah dengan cepat. Satu lagi, agar teman-temanku tidak menaruh iba kepadaku.

Di sekolah, sering teman sekelasku mengajak aku ke kantin. Namun selalu kutolak. Masih ku ingat berapa kali aku pergi ke kantin untuk sekedar membeli makanan. Mungkin selama tiga tahun aku di SMP, hanya kurang lebih sekitar 40 kali saja. Alasan yang kuberi untuk menolak ajakan temanku adalah aku sudah makan, aku juga tidak lapar. Selalu aku tunjukan uangku pada temanku, kalau alasannya bukan karena tidak punya uang. Walaupun uang yang kutunjukkan itu merupakan uang berbulan-bulan yang selalu kusimpan di saku bajuku untuk jaga-jaga. Kenyataannya, aku melakukan itu karena tidak tega jika aku makan di kantin dan Emakku susah-susah mencari uang demi diriku.

Setelah bunyi lonceng berbunyi, pertanda pulang pun tiba. Aku selalu berjalan dengan cepat. Menyusuri jalanan yang kadang terik, sejuk, dingin. Sengaja juga ku lakukan itu. Agar aku bisa cepat kembali menemui Emakku dirumah. Dan alasan satu lagi sama yaitu, agar teman-temanku tidak melihat aku dan memboncengku. Karena aku tidak suka bila di kasihani. Aku masih punya kaki yang mungkin selalu mengeluh setiap saat padaku. Tapi aku selalu katakan pada kakiku “Terima kasih telah menjadi teman setiaku. Maafkan aku, aku belum bisa merehatkanmu. Aku berjanji aku akan membawamu ke tempat menuju syurga”.

***

Saat itu, keluarga kami dalam kondisi yang sangat tidak memiliki apa-apa lagi. Bapakku bekerja merantau. Sejak aku belum lahirpun Bapakku bekerja seperti itu. Bekerja “menderes” pohon karet yang bukan miliknya. Pekerjaan itu juga tidak tentu. Kami yang di rumah, aku dan Emakku sudah menunggu berbulana-bulan, namun belum ada kabar. Uang persediaan Emakku juga sudah habis. Jika Bapakku pulang, itu belum tentu membawa uang. Karena sering hujan belakangan itu.

Tapi, alhamdulliah sesampainya aku di rumah selalu ada makan siang disediakan oleh Emakku. Walau aku tidak pernah sebelumnya memakan makanan itu. Di sudut dapur terdapat bekas bakaran yang diatasnya terdapat periuk kecil, biasa untuk masak nasi. Namun kini nasi yang dimasak oleh Emakku beubah warna. Yaitu, putih bercampur kuning. Putih itu beras, kuning itu jagung. Aku selalu mensyukuri semua nikmat. Walau aku makan sambil menitikkan air mata. Karena nasi yang kumakan sangatlah keras. Aku selalu berdoa dalam butiran-butiran nasi yang kumakan “Akan ku jadikan nasi kuning ini menjadi nasi pembawa cahaya untuk menjadi anak kebangaan orang tuaku” sambil melamun.

Sedari kecil aku selalu membantu emakku untuk “meramban” atau mencari sayuran lalu dijual ke pasar. Hal itu kulakukan hingga SMP. Pakis. Pasti banyak yang sudah mengetahui tumbuhan pakis. Aku mencari itu untuk menyambung kehidupan. Kenapa pakis? Karena pakis tidak membutuhkan modal. Tumbuhan itu tidak harus ditanam. Tidak semudah itu untuk mendapatkan pakis itu. Dibutuhkan berkilo-kilo meter yang harus ditempuh untuk berjalan menyusuri tempat itu. Jalanan berbukit yang harus didaki. Setelah sampai disana, tidak jarang kami selalu mendapatkan apes. Sering pakis yang dicari sudah diambil orang lain. Karena tempat itu bukan milik pribadi, melainkan tersebar di kebun-kebun milik orang. Tidak jarang juga kami selalu mendapatkan hasil yang lumayan banyak. Jika banyak yang didapat, jarak yang ditempuh sejauh jarak pergi. Masalahnya kepala dan leher harus kuat menyunggi. Kepala harus tahan dengan goni ukuran 50 kg dan biasanya kalau berat pakisnya hingga 40 kg-an. Dan itu tidak aku saja yang menyunggi, melainkan Emakku yang sudah tua juga membawa ukuran goni yang sama. Bukan aku tidak ingin mengemban beban Emakku, melainkan itu sangat berat bagiku.

***

Ketika kelas tiga SMP, teman sekelasku sudah mencanangkan akan melanjutkan SMA dimana. Namun, jika aku yang ditanya, itu semua hanya sebuah angan yang sangat manis bagiku. Jika aku meminta untuk melanjutkan sekolah. Berarti sama saja aku harus meminjam kepala Emakku untuk menyunggi pakis dihari-harinya. Sungguh itu tidak sanggup aku lakukan. Lebih baik aku pendam mimpi itu dalam-dalam.

Di ujung semester kelas tigaku. Kepala sekolahku masuk ke kelas. Buk Nuriyah namanya. Sambil memberi motivasi sebelum UN. Beliau juga menyampaikan beasiswa dari SMA Unggulan CT Foundation. Beliau sangat antusias menyampaikan informasi itu. Dalam benakku “Apakah ini jalan untukku?”. Setelah itu, aku pulang sekolah langsung menyampaikan dan menunjukan brosur yang telah aku minta di sekolah tadi kepada emakku. Panjang lebar aku menerangkan oleh Emakku.

Semua berkas telah aku siapkan. Siang malam aku belajar, berdoa. Ujian pun dimulai. Ujian yang diujikan adalah sains, psikologi, wawancara. Sebelum aku memulai mengisi lembar jawaban, aku berdoa. “Sudah cukup aku menggunakan kepala emakku untuk menyunggi bebanku ya Allah. Sekarang aku harus menyunggi semua bebanku sendiri. Maka, hadirlah saat aku kesulitan menjawab soal-soal ini ya Allah”. Tidak ada keraguan dalam diriku. Aku sendiri tidak lupa sebelumnya minta ridho orang tuaku sebelum aku berangkat.

Pengumunan pun tiba. Hari dimana aku harus mengetahui informasi itu. Aku dihubungi dari pihak SMA. Aku dinyatakan lulus.  Minggu depan aku harus mendaftar ulang ke SMA. Tangis dan haru pun bercampur menjadi satu. Aku berterimakasih kepada Allah. Akhirnya aku tidak lagi harus menggunakan leher dan kepala Emakku untuk menyunggi beban-bebanku. Aku peluk emakku. Aku mempersiapkan semua keperluanku untuk tinggal di asrama.

***

Masuk di SMA Unggulan CT Foundation seperti syurga dunia bagiku. Bisa belajar tanpa harus memikirkan biaya sepeser pun. Teman-teman seperjuangan yang memiliki latar belakang yang sama. Semangat yang sama. Memiliki tujuan yang sama. Membangun negeri melalui SMA Uggulan CT Foundation. Angkatan pertama yang menjadi kebanggaan bangsa. Berjumlah 51 orang telah mengukir banyak prestasi saat itu. Sudah banyak ajang perlombaan yang diikuti. Bukan hanya itu saja. Semua akhir dari prestasi di SMA harus dibuktikan dalam masuk PTN.

Walau prestasi sudah banyak diraih, namun kalau untuk masuk PTN melalui jalur SNMPTN, itu nihil bagi sekolah kami. Karena sekolah kami belum terakreditasi. Aku beserta teman yang lain harus berjuang untuk tetap masuk PTN melalui SBMPTN.

***

Hari SBMPTN pun tiba. Aku harus bangun pagi-pagi sekali. Aku shalat Shubuh dulu. Meminta kepada Allah agar aku dipermudah dalam menjawab soal. Dalam doa dan tangis, aku selalu memikirkan Emakku saat aku harus menampung air hujan, memakan nasi jagung, melihat emakku menyunggi goni yang berisi pakis yang sangat berat. Ketika itu tumpah air mataku. Aku tidak mungkin harus begini selamanya.

Di perjalanan menuju lokasi. Macet yang sangat panjang. Aku pun memutuskan untuk berhenti. Aku lari setelah aku keluar dari angkot. Karena itu tidak mungkin ku lakukan jika aku harus menunggu. Bisa-bisa aku terlambat. Waktu saat itu tinggal sepuluh menit lagi. Tempat ujianku sekitar satu kilometer lagi. Masih sempat!

Aku pun memulai memasuki ruang ujian. Belum sempat keringat kering di keningku, aku langsung mengeluarkan peralatan ujian. Semua rasa bercampur aduk dalam hatiku dari bingung, lelah, takut, tapi satu yang tetap membuatku tenang, aku harus merubah hidupku. Hingga semua ujian aku jalani. Aku mengerjakannya dengan sangat serius. Sangat berharap inilah waktunya. Tidak ada waktuku selain berdoa. Dalam semua jawaban, Allah selalu kusebut.

Detik-detik pengumuman SBMPTN pun tiba. Saat itu aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa berdoa. Sejak subuh setelah sahur aku niatkan untuk membaca Al-Quran. Aku meminta agar aku diberi hasil yang baik. Saat waktunya tiba, aku tidak berani membuka pengumuman itu sendiri. aku pun diberi tahu oleh temanku bahwa aku lulus PTN di Universitas Sumatera Utara Fakultas Kesehatan Masyarakat dengan beasiswa BIDIKMISI. Langsung aku menjatuhkan diri untuk sujud syukur sambil menagis.

“Dan ketika aku bisikkan tentang  hari esok, buruknya takdir bukan alasan untuk aku maju, dan aku yakin akan ada harapan disini, dan ketika aku berjanji untuk tetap disini, janganlah kau berhenti untuk melukis mimpi, biarlah semuanya berjalan dengan harapan,dan biarkan tuhan yang akan menjawab, dan terus langkah pijakkan kedepan, dan terus terbangkan ke awan, untuk membawaku menjadi masa depan bangsa Indonesia”

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment