CINTA PERTAMA DAN KEDUA YANG TERLEWATKAN

Oleh : Yusuf Saprizal*

Hari ini, aku sengaja berniat untuk melalui jalan belakang sekolahku ketika aku berangkat ke sekolah dengan motor baruku. Bukan untuk apa-apa, hanya berharap melihat seseorang yang kusukai melewati jalan itu juga, jalan yang memang biasa ia lewati.

Ketika melewati jalan itu, aku tidak beruntung. Aku tidak menemukannya. Tak apa, aku masih berharap melihatnya hadir di kelas hari ini. Seperti itulah keseharianku ketika aku di SMA. Setiap hari selalu melewati jalan belakang sekolah dan duduk di tempat yang tepat di kelas untuk menatap sosok yang manis bernama Rindu. Ya, namanya Rindu. Nama yang unik dan kebetulan pas dengan apa yang kurasakan padanya setiap hari. Syukurlah hari ini dia datang ke sekolah. Aku melihatnya duduk di bangku belakangku. Sepanjang hari aku sering sekali mengamatinya dari tempat dudukku. Sudah 2 tahun sejak aku satu kelas dengannnya aku menyukainya diam-diam. Kadang aku berharap bisa mengatakan perasaanku padanya. Karena hampir setiap waktu mengamatinya, aku merasa setiap hari di sekolah cepat sekali berlalu. Kadang aku merasa tidak tahu apa yang disampaikan guru-guru  di sekolah karena aku terlalu sering memperhatikan sosok yang aku suka itu.

Tak terasa, momen seperti itu berlalu begitu cepat. Kurang 1 bulan lagi, Ujian Nasional SMA akan dilaksanakan. Artinya, kurang lebih sebulan lagi sisa waktu untuk menikmati masa-masa indah di SMA, terutama masa-masa ketika aku masih bisa melihat sosok yang aku sukai di kelas, karena sangat mungkin kita tidak akan melanjutkan studi di universitas yang sama. Artinya pula, aku tidak bisa melihatnya lagi di sekitarku. Entah kenapa, tiba-tiba muncul kembali di pikiranku keinginan yang belum tercapai, yaitu mengatakan perasaanku pada sosok bernama Rindu itu.

Kurang dari seminggu  sejak keinginan itu muncul di pikiranku, keberanianku untuk mengatakannya muncul juga. Aku menulis perasaanku di secarik kertas dan memasukkannya ke dalam tas Rindu diam-diam ketika di kelas tak ada orang.

“Rindu… Ketika aku melihatmu dengan mataku, aku melihatmu seperti yang lain, manusia biasa yang tak sempurna
Namun, ketika aku melihatmu dengan mata hatiku,aku melihatmu begitu sempurna
Begitu sempurna untuk menetap di hatiku
Rindu, setiap hari aku menyapamu dalam rindu yang tak pernah sampai ke tujuan
Kali ini, maukah kau menerima rinduku agar tepat sampai ke tujuan?”

Itulah sebait kata-kata yang aku sampaikan dalam secarik kertas kepada Rindu. Jujur saja aku sebenarnya polos, tidak pandai merangkai kata-kata. Karena itulah aku hanya bisa menuliskan sedikit kata-kata yang cukup pantas untuk dikatakan padanya.

Sehari setelah aku memasukkan secarik kertas itu ke dalam tas Rindu, aku menemukan secarik kertas dari dalam tasku. Aku yakin itu balasan dari Rindu. Balasannya sangat cepat. Hatiku sangat senang di hari itu. Sepanjang hari aku tersenyum malu karena aku tidak menyangka balasannya akan secepat itu.

Hari itu, setiba di rumah, aku membaca surat itu. Ternyata benar, itu balasan darinya. Aku mulai membaca surat itu pelan-pelan, tak mau melewatkan satu kata pun dari surat yang istimewa itu.

Setelah membaca itu aku hanya diam karena aku merasa ditolak dengan alasan klise, seperti di novel-novel. Alasannya dia ingin fokus sekolah. Walaupun alasannya klise, tetapi aku benar-benar shock karena perasaan seperti perasaanku pada Rindu itu adalah perasaan yang benar-benar baru dalam hidupku. Baru pertama kali ini aku suka pada seseorang dan tentu saja baru pertama kali aku berani mengatakannya. Hatiku seperti tertusuk pisau yang menghujam sesenti, dua senti, hingga aku tak bisa lagi mengira-ngira seberapa dalam pisau itu menghujam hatiku.

Ketika aku masih terlarut dalam perasaan itu, tiba-tiba ibuku mendatangiku. Ibuku menangis sesenggukan di hadapanku. Beliau terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tangisnya tak bisa ditahan sebentar agar ia bisa mengatakan setidaknya sepatah kata permulaan. Aku ingin menenangkannya supaya beliau bisa menjelaskan apa yang terjadi, tapi aku terasa canggung untuk melakukannya, karena jujur saja, sebenarnya selama ini aku jarang berbicara dan bahkan tak peduli kepada mereka. Itu terjadi karena selama ini mereka hanya pergi bekerja, bekerja, dan bekerja. Hampir bisa dikatakan rumahku itu hanya seperti tempat mampir, bukan tempat tinggal. Ayahku pergi bekerja sejak Subuh hingga larut malam. Ibuku bekerja di tempat tetanggaku dari subuh hingga petang juga. Beliau hanya pulang sebentar ketika siang hari untuk memasak makanan, menyuruhku makan dengan satu kalimat, setelah itu beliau pergi lagi melanjutkan pekerjaannya di rumah tetangga.

Akhirnya, setelah beliau mampu menenangkan dirinya sendiri, beliau mulai bersuara. “Nak, tolong dengarkan dan pahami apa yang ibu ceritakan. Nak, Ayahmu sekarang ada di rumah sakit dan sedang koma. Ayahmu jatuh dari lantai 5 gedung yang sedang dibangunnya. Kita perlu uang untuk biaya pengobatan ayahmu dan biaya hidup kita. Jadi, ibu minta maaf, Nak… Ibu perlu menjual motormu untuk biaya berobat ayahmu. Selain itu, sekali lagi maaf. Ibu ingin kamu bekerja supaya kita punya uang untuk hidup. Tenang saja, sembari bekerja kamu tetap bisa sekolah karena uang sekolahmu sudah lunas, kamu tak perlu memikirkannya, hanya tinggal menempuh ujian saja. Carilah pekerjaan apa saja yang tidak mengganggu sekolahmu. Maaf, Nak ibu menyuruhmu seperti ini. Ibu sudah benar-benar tidak punya seseorang yang bisa diharapkan kecuali dirimu. Jadi tolong ibu, Nak. Ibu juga minta maaf sekali lagi karena jika kamu ingin melanjutkan sekolah ke universitas, ibu tidak sanggup membiayai, hanya ayahmu tumpuan keluarga kita. Gaji ibu tidak seberapa. Selama ini hanya gaji ayahmu yang bisa untuk membiayai sekolahmu. Itu pun butuh waktu untuk mengumpulkannya dan jika ayahmu selalu lembur.”

Setelah itu ibuku terdiam. Ibuku kembali sesenggukan lagi. Untuk beberapa saat aku pun juga terdiam karena apa yang diceritakan ibuku itu membuatku benar-benar kaku, kelu untuk mengatakan sesuatu. Tapi aku sadar, sekarang ini bukan saatnya untuk tidak bersikap dewasa. Walau aku sering membenci orang tuaku, tapi di saat seperti ini aku harus bisa menenangkan ibuku dan membuat beliau tetap bersemangat untuk melanjutkan hidup. “Sabar bu.. Kita harus tetap kuat untuk melanjutkan hidup. Tenang bu, aku akan menuruti semua yang ibu katakan tadi”. Hanya itu yang bisa aku katakan kepada ibuku. Setidaknya, itu membuat ibuku tersenyum sejenak di dalam tangisnya dan membuat beliau lebih tenang. Setelah beberapa saat, ibuku pergi dari kamarku. Bersamaan dengan ibuku pergi, aku baru menyadari, ini tidak mudah. Aku  merasa aku tidak sekuat tadi ketika aku menenangkan ibuku. Hatiku seperti jatuh pecah berkeping-keping. Aku berusaha memperbaikinya seperti sedia kala. Susah payah dan menyita waktu untuk mengumpulkan pecahan-pecahan hatiku itu sembari merangkak-rangkak tanpa satu pun yg terlewat, menyusunnya, hingga menyatukannya, karena hatiku serasa benar-benar pecah, menjadi pecahan-pecahan yang sangat kecil yang terlalu banyak untuk disatukan. Bahkan ketika aku menyatukannya pun kepingan itu kembali menggoreskan luka, karena kepingan itu terlalu lancip. Ya, seperti itulah hatiku menghadapi realita ini.

Tapi aku sadar, aku harus bersikap dewasa sekarang ini. Mungkin ini cara Allah untuk membuatku bersikap lebih dewasa. Aku mulai berusaha untuk bekerja seperti apa yang diminta ibuku. Aku melakukan pekerjaan apapun asalkan itu tidak mengganggu jam sekolahku karena aku juga harus fokus ujian. Aku bertekad untuk mulai serius memikirkan sekolah. Aku harus lulus ujian nasional dengan nilai yang bagus supaya aku bisa lolos seleksi masuk PTN lewat seleksi BIDIKMISI, karena hanya itulah harapanku saat ini. Hanya dengan bersekolah tinggi aku bisa memperbaiki nasib keluargaku yang masa depannya telah terancam. Walaupun menurut peraturan nilai ujian hanya berpengaruh 10%, tapi aku tetap ingin berusaha semaksimal mungkin di saat terakhir, karena aku yakin keajaiban pasti ada jika kita berusaha.

Singkat cerita, ujian telah selesai. Aku sangat bahagia karena aku dinyatakan lulus. Namun, hatiku kembali sangat hancur ketika aku tahu aku tidak lolos seleksi BIDIKMISI. Aku benar-benar hancur hingga sempat terbersit di pikiranku bahwa tidak ada keajaiban. Allah tidak adil karena Dia tidak memberi keajaiban pada hamba-Nya yang berusaha. Tapi untung saja itu cuma berlangsung beberapa saat. Ketika aku mengingat semua hal yang terjadi padaku akhir-akhir ini, awalnya aku memang  merasa Allah tidak adil, Allah sangat jahat. Tapi tiba-tiba, ketika aku sudah benar-benar lelah mengingat semua hal menyakitkan yang terjadi padaku dan menyalahkan Allah, aku tersadar, sungguh aku benar-benar telah membuat kesalahan besar. Aku ingat bahwa Allah itu memberi cobaan kepada hamba-Nya karena rasa sayangnya pada hamba-Nya. Allah memberi cobaan kepada hamba-Nya karena hamba-Nya mulai melupakan-Nya. Ya, aku telah melupakan-Nya sebagai cinta pertamaku, cinta pertama yang selalu memberikan kasih sayang kepadaku setiap saat, namun justru aku memilih mengingat selain Dia di setiap saat, mengingat hamba yang juga sesama manusia biasa, bahkan tak ada kasih sayang  yang diberikannya, tapi aku justru menatapnya setiap saat dan memberi perhatian kepadanya setiap saat. Aku juga telah  melupakan cinta kedua yang selama ini telah berjuang demi hidupku, memberi kasih sayang dengan bekerja mati-matian demi kebahagianku hingga masa depan. Aku telah melupakan orang tuaku. Aku merasa sangat bersalah. Betapa tidak berharganya hidupku selama ini, aku melewatkan hidupku selama di SMA hanya untuk seseorang yang membuat hidupku terasa indah sesaat saja, namun membuatku terhambat menuju masa depanku yang cerah. Aku ingin menebus kesalahanku. Aku yakin, Allah membantu hambanya yang mau bersabar dan berusaha. Bulan depan, aku ingin kembali mencoba mengikuti seleksi BIDIKMISI lewat jalur tes. Aku ingin berusaha mati-matian.

Di bulan berikutnya, ternyata benar. Usahaku tak sia-sia. Allah benar-benar membantuku. Aku lolos seleksi. Aku sangat bersyukur kepadanya. Setelah ini, aku berjanji tidak akan melupakan cinta pertama dan keduaku yang selalu bisa menolongku melihat masa depan yang cerah.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment