Merdeka.com – Bibir Deden (20) bergetar saat
mengingat dan menceritakan kembali perjuangannya untuk masuk kampus unggulan di
kawasan Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara (USU). Sejak SMP Deden
memang berjuang sendiri untuk membiayai sekolahnya mengingat kondisi ekonomi
keluarga yang memprihatinkan.
“Ayah saya cuma bawa bentor (becak motor),
ibu saya ibu rumah tangga. Kakak saya SMA putus sekolah. Gambaran abang buat
saya trauma saya harus action biar enggak kayak abang saya,” kata Deden
membuka cerita perjuangannya kepada merdeka.com saat bertemu di Desa Batu
Layang, Cisarua, Senin (19/8).
Sambil membantu ayah, Deden berinisiatif
menjadi kuli cuci kereta dan motor. Uang yang dia dapat digunakan untuk biaya
sekolahnya dan dua adiknya, sisanya ditabung. Jumlah tabungan sejak masuk SMP
hingga selesai cukup lumayan sekitar Rp 2,5 juta. Uang itu dia gunakan untuk
membeli motor.
“Karena
SMA saya jauh dari rumah, jadi saya belikan motor,” ujarnya.
Selama duduk di bangku SMA, Deden mulai
berputar otak kembali mencari dana untuk persiapan biaya kuliahnya nanti. Belum
lagi, saat duduk di kelas XII nanti, butuh biaya untuk les tambahan.
“Saya berpikir lagi untuk biaya kuliah
saya nanti. Saya juga mau les ini itu. Lalu ada bak bekas punya ayah. Saya
inisiatif buat jadi bentor juga. Jadi saya mulai narik (bawa becak),”
lanjut Deden menahan haru.
Deden membawa becak motor penumpangnya setelah
pulang sekolah. Khusus hari Minggu, dia menarik bentor seharian penuh. Dengan
semangat yang tinggi agar bisa tetap bersekolah, Deden tak pernah merasa
pekerjaannya itu menjadi beban. Setelah menarik motor, dia kembali belajar
untuk persiapan sekolah keesokan harinya.
“Engga capek karena saya pikir ada
harapan, dari situ ada energi. Kalau capek berarti enggak ada motivasi,”
tegas alumnus SMAN 1 Kota Pinang ini.
Aktivitas menarik becak, lanjut Deden, tak
membuat waktunya terbuang sia-sia. Dia tetap bisa mengikuti berbagai perlombaan
dan memperoleh hasil memuaskan seperti menang cerdas cermat di tingkat
kabupaten untuk bidang koperasi, olimpiade sains sampai menyabet juara umum
pertama di sekolah selama dua tahun berturut-turut.
Melihat kesungguhan Deden, orang tuanya sampai
tidak bisa berkata apapun. Padahal beberapa kali Deden diingatkan untuk tidak
terlalu keras pada dirinya sendiri.
“Kata ibu bapak, bapak masih sehat masih
bisa kerja, kata ibu juga kalau mau kuliah dekat sini saja biar bisa sambil
narik bentor,” ucapnya.
Hasil jerih payah Deden kembali membuahkan
hasil memuaskan. Dari profesinya menarik becak, Deden berhasil mengumpulkan
uang Rp 7 juta. Uang itulah yang digunakannya untuk masuk USU. Gayung
bersambut, USU menerimanya sebagai mahasiswa.
Di balik kegembiraannya itu ada sedikit
kendala. Yakni, Deden yang tinggal di kawasan Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan,
Sumatera Utara, tidak punya tempat tinggal di Medan. Untuk diketahui, waktu
tempuh dari Kota Pinang ke Medan lebih kurang 8 jam.
“Saya sudah berniat kalau saya enggak
punya tempat tinggal saya mau tinggal di Musala saja nggak apa-apa,”
lanjut Deden.
Beruntung saudara Deden membantu. Ada yang
meminjamkan uang kepadanya untuk biaya kos. Tak lama keberuntungan yang lainnya
datang, proposal beasiswa yang dia kirimkan ke Tanoto Foundation juga diterima.
“Dulu saya merasa punya sedikit waktu
untuk belajar, sekarang sudah bebas.” tutupnya senang.
Kini mahasiswa Akuntansi, semester III ini
tidak perlu lagi menarik bentor, menjadi kuli cuci kereta atau harus tinggal di
musala seperti mimpinya. Dia berharap bisa memanfaatkan beasiswa itu dengan
sebaik-baiknya dan mampu mengubah nasib adik-adiknya untuk terus bersekolah
sampai perguruan tinggi.
Tanoto
Foundation memberikan beasiswa pendidikan kepada 239 mahasiswa 11 perguruan
negeri di Indonesia. Selain bebas dari uang sekolah mereka juga mendapatkan
uang saku setiap bulannya. Namun untuk terus mendapatkan beasiswa ini Tanoto
mewajibkan mahasiswa untuk terus meningkatkan prestasi mereka.
Sumber : https://www.merdeka.com/peristiwa/demi-masuk-kampus-usu-medan-deden-tarik-bentor-dan-cuci-kereta.html