Kita bertemu,
Saat langit menjelma biru paling jujur,
Di rumah batu yang memeluk sunyi,
Dihiasi wangi buku yang menua, bisik dedaunan, dan lagu air di kolam yang tenang.
.
Bagiku, kamu cahaya yang percaya diri,
terlalu terang hingga kadang menyilaukan,
Tapi juga tajam, cerdas, dan mudah menyatu dengan dunia yang ada di sekelilingmu.
.
Hari demi hari, kekaguman itu tumbuh diam-diam,
Tapi di baliknya, terselip ketakutan:
Bagaimana jika kamu menjauh sebelum sempat aku menjelaskan?
.
Akhirnya,
Aku memberanikan diri,
Mengakui bahwa tak semua hal kupahami,
Terutama tentang rasa yang tumbuh perlahan,
Tapi mendesak seperti hujan yang tak bisa dicegah.
.
Mulanya, kamu diam,
Bingung… atau mungkin takut,
Menimbang segala yang bisa salah
.
Namun kemudian,
Kau menatapku seperti sore yang tak ingin tergesa,
Dan perlahan kau berkata:
“Aku juga merasakannya sejak lama,
Beberapa kali aku memberi isyarat,
Tapi mungkin terlalu halus,
Atau mungkin kamu terlalu ragu.”
.
Sejak hari itu,
Kita menjalani kisah yang hangat,
Memanfaatkan sisa waktu yang tak banyak,
Untuk melukis kenangan di setiap sudut hari
.
Kita tertawa lebih sering,
Menatap lebih lama,
Seolah ingin membekukan waktu yang terus berjalan.
Setiap detik jadi semesta kecil,
Di mana hanya ada aku dan kamu,
Dan dunia luar seolah tak berhak masuk.
.
Lalu musim panas pamit,
Dan kamu pun harus pergi,
Meninggalkan serpihan kenangan yang membakar hangat di dada,
Akan mekar menjadi milyaran rindu setiap kali langit berubah warna.
.
Lalu musim dingin datang membawa kabar,
Suaramu yang dulu meneduhkan, kini mengabarkan luka:
Kamu akan berlabuh pada takdir yang tak pernah kau ceritakan sebelumnya,
Dan hatiku runtuh, perlahan, namun pasti.
.
Hidup terasa beku setelah itu,
Tapi bukankah waktu tetap berjalan, meski langkahku tertinggal?
.
.
Cipt: Ahmad Zubeir Rangkuti
Project: Musim Gugur
Puisi ~ Balada Temu, Kagum dan Perpisahan
