Puisi “Misteri Lara”

Misteri Lara

Kamu berjalan dalam misteri lara,
Melintasi jalan setapak yang kian kusut,
Langkahmu lesu, dikelilingi sunyi,
Hanya ada gema dari pikiran sendiri,
Dan ocehan dunia yang tak pernah hening.

Kamu melihat wajah-wajah asing,
Berjalan tergesa tanpa arah pasti,
Ada yang tertawa, tapi matanya sembunyi,
Ada yang diam, tapi dadanya penuh petir.
Sedih pun menghujanimu—tanpa jeda.

Kamu lalu pergi, mencari cahaya,
Menuju teluk yang luas dan diam,
Mengharap senyum hangat di tepi pantai,
Namun senja bicara lirih:
“Beberapa hari ke depan, langit akan kelabu.”

Kamu melangkah ke pegunungan,
Mencari pelukan hening dari pohon beringin tua,
Namun ia sedang menggugurkan daun,
Tak ada pelindung dari angin,
Tak ada atap untuk bersandar luka.

Akhirnya kamu kembali ke tempat yang paling jujur:
Tempat tidur dengan seprai kusut dan bantal basah,
Menghirup udara dengan dada sempit,
Mengelap air mata dengan ujung harapan,
Menangis—bukan karena lemah,
Tapi karena sudah terlalu lama bertahan.

Kamu tuliskan semuanya,
Pada jurnal tua berwarna hijau lumut,
Satu per satu lara dijahit dengan kata,
Hingga sesak berubah jadi lega.

Lalu kamu bangkit,
Mengambil air wudhu yang menenangkan,
Dingin menyentuh wajah,
Menumbuhkan kembali serpih ketenangan,

Kamu bersujud dalam diam,
Bukan untuk mengeluh,
Tapi meminta pelukan dari Langit,
Agar lara tak lagi mendominasi batin.

Karena kamu tahu,
Sekalipun badai tak berhenti tiba-tiba,
Tapi Sang Maha Pencipta tak pernah pergi.

Dan semoga,
Esok pagi mentari benar-benar cerah—
Bukan hanya di langit,
Tapi juga di hatimu.

.

Cipt: Ahmad Zubeir Rangkuti

Project: Musim Gugur

Leave a Comment