Titik Terlemah
Di antara senyum yang kupasang setiap pagi,
ada reruntuh di balik dada yang sunyi.
Langkahku mantap di mata dunia,
padahal di dalam jiwa,
aku nyaris tak punya daya.
.
Semua tampak indah di bingkai luar mimpi.
Namun siapa sangka, di balik meja yang rapi,
bersemayam racun dari lidah-lidah iri.
Fitnah datang tanpa diundang,
kezaliman menetes perlahan,
jadi luka tak berdarah.
.
Aku diam, sebab membalas hanya menambah parah,
aku sabar, meski hatiku patah.
.
Sementara di rumah,
ada badai kecil yang tak bisa kutenangkan.
Aku ingin jadi pelindung,
namun tanganku masih terlalu lemah untuk menahan hujan.
.
Semua bilang aku bahagia,
ya, barangkali karena aku pandai berpura-pura.
Padahal, di dada ini,
ada desir kecil yang terus berbisik lirih:
“Bangkitlah… meski tak tahu dari mana harus memulai.”
.
Dan di titik terlemah inilah aku belajar,
bahwa kekuatan bukanlah tentang tak pernah runtuh,
melainkan berani menatap retak,
dan tetap berdoa,
meski dengan suara yang nyaris habis.
.
Cipt: Ahmad Zubeir Rangkuti