ABANGKU INSIPIRASIKU

Oleh : Febri Rahmania*

Malam merayap. Harusnya belum terlalu gelap. Mungkin karena kabut asap. Aku menengok pada kalender di dinding. Ah, sudah tanggal tua. Mengingatkanku pada seseorang. Ya, seseorang yang akan kutuliskan sedikit tentang dia.

Abangku Nomor Dua, lahir bulan Juni di Desa Padi. Dua tahun setelah Abang Nomor Satu lahir dan sembilan tahun sebelum aku ada. Ia adalah yang paling rajin, paling sholeh, paling hemat diantara kami bertiga bersaudara. Budi pekertinya baik. Begitu kata para tetangga.

Abang Nomor Duaku itu, setiap bulan mengirimku uang untuk membiayai keperluan kuliah. Aku anak perempuan  Bunda satu-satunya, juga satu-satunya yang kuliah. Karena itu aku tak ingin mengecewakan keluarga.

Track record akademik Abang selama sekolah sangat bagus. Sejak SD hingga MTs ia selalu dapat peringkat di kelas. bahkan ketika duduk di kelas unggulan, di sebuah Madrasah.

Ini malam, aku akan ceritakan sedikit kenangan tentang Abangku yang selalu kuingat sampai sekarang. Kata Ibu, Abang lahir sebesar botol dengan berat kurang dari dua kilogram. Ketika balita Abang sakit kuning dan kurus. Tetangga-tetangga kami waktu itu tak yakin ia bakal hidup lama, namun berkat karunia Allah, Abangku tumbuh besar juga, malah jadi anak yang pintar.

Aku ingat betul, waktu masih SD aku sering sekali bandel dan menyakiti hatinya. Misalnya, aku pernah bilang “Gigimu kok lurus banget, direbonding ya?,” Lalu dengan ekspresi wajah diimut-imutkan aku jawab sendiri, “Cuma pakai shampoo kok,”.

 Aku menertawai giginya yang besar sepanjang hari. Dan dia tidak marah, malah Ibuku yang marah. Belakangan aku baru tahu saat di Aliyah Abang pernah curhat pada Ibu ingin pasang kawat gigi.

Adik kurang ajar, itulah aku. Tak terbayang beban kurang percaya diri yang dialami abang di usia remajanya kala itu. Kelak, suatu hari di bangku SMA, aku pernah tiba-tiba merasa gigiku bertambah besar dari biasanya. Aku benar-benar khawatir, merasa ditimpa karma. Karena pernah menertawai gigi Abang.

Dia Abangku Nomor Dua, tapi ia nomor satu seluruh dunia.

Bagaimana aku bisa lupa, saat keluarga kami masih tinggal menumpang di sebuah rumah di tengah sawah. Aku sudah sekolah TK dan Abang MTs. Di suatu sore hari di musim panas yang anginnya kencang, kami menerbangkan layang-layang di kebun jeruk di halaman belakang . Layang-layang dari plastik asoi besar, dibuat sendiri oleh Abangku. Kerangkanya dari lidi. Aku bertugas memegang layang-layang sementara Abang berlari menarik benang. Saat ia memberi tanda, kulepas layang-layangnya hingga naik, terus naik, makin tinggi dibawa angin.

Aku senang tak terkira. Sebab beberapa jam sebelumnya, di jalan ketika pulang sekolah, aku ingin membeli layangan kertas yang harganya lima ratus rupiah. Kurogoh ke dalam saku celana, baru kuingat, seratus rupiah pun aku tak ada.

 Detik itu aku merasa jadi adik perempuan paling beruntung di dunia. Dibuatkan layang-layang oleh Abang, diterbangkan pula.

Tak kepalang gembiranya aku, manakala layangan kami terbang meliuk-liuk di angkasa. Tak peduli, meski di langit sana terbang juga layangan lain yang lebih indah. Warna-warni dari kertas minyak, ekornya panjang, meliuk-liuk indah. Entah layangan siapa. Aku tak lelah menengadahkan kepala ke angkasa, demi melihat layang-layangku terbang.

Ah, layang-layang yang terbang bebas, seperti impianku, yang ingin kuterbangkan setinggi-tingginya. Kupikir Si Layang-layang itu, bila pandai ia bercerita mungkin dia akan memberitahuku betapa indahnya dunia dari atas sana. Atau bila ia punya ponsel android, mungkin dia sudah selfie.

Bila bukan karena petang telah datang, mungkin aku masih akan duduk di rumput, tak ingin layangannya turun.

Masih banyak yang ingin kuceritakan, tapi hatiku sedih  bila ingat kembali cerita lalu kehidupan keluarga kami. Kurang lebih, ya, seperti kisah-kisah masyarakat kelas bawah  yang sering kalian lihat di sinetron.

 Ah, tapi aku masih punya mimpi!  Jadi aku lewatkan saja adegan yang sedih-sedih itu.

Selepas MTs Abang melanjutkan sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di kota Beras. Sekali lima belas hari Ibu mengirimkan Abang beras dan macam-macam bahan dapur. seperti cabai, teri, tomat dan kawan-kawannya. Kadang bila sempat, di sela-sela kesibukannya menjahit pesanan baju, Ibuku membuatkan pangek paki untuk Abang. Gulai daun pakis yang dibuat kering seperti rendang. Kesemuanya dikemas dalam sebuah kardus. Berikut uang jajan tiga puluh lima ribu rupiah. Paket ‘sumber kehidupan’ itu dikirim dengan bus yang lewat subuh-subuh. Bila kubandingkan dengan jumlah uang jajanku sekarang, Ya Rabb, betapa kurang bersyukurnya aku.

Suatu kali, pada libur semester, aku ikut dengan ayah menjemput rapor Abang ke sekolahnya.  Hore hore! Aku akan ke sekolah Abang!

Usai dari mengambil rapor Abang, ayah mengajak kami makan siang di sebuah rumah makan di pasar, sesuatu yang hanya dilakukan Ayah bila sedang bahagia dan memiliki uang. Ayah bertanya, ”Mau makan apa?,” itu artinya kami boleh pesan sesuka hati.

Selesai makan, Ayah memuji nilai rapor Abang yang gemilang, kemudian memberi ia uang jajan secukupnya. Kami berpisah di tengah ramainya pasar. Karena aku dan Ayah harus segera kembali, mengejar bus yang berangkat sore. Abangku, akan menyusul pulang kampung setelah urusan sekolahnya selesai.

Lepas Aliyah, Abangku tak kuliah. Masa itu, kuliah adalah hal yang mahal di kampungku. Orang-orang tertentu saja yang menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Rasanya dulu, pendidikan tinggi itu benar-benar tinggi, seperti namanya. Tiada terjangkau oleh kami.

Dua tahun Abangku bekerja serabutan. Pernah jadi tukang cuci sepeda motor, ikut ayah jadi tukang bangunan, dan sebagainya. Kala itu, aku menyayangkan sekali otaknya yang cemerlang. Sudah sekolah yang tinggi sampai Aliyah, sering juara kelas, tapi karena alasan biaya, tiada kesempatan itu datang. Kesempatan untuk berpendidikan lebih tinggi, mencapai cita-cita. Pikirku waktu itu, kemiskinan memang memutus jalan menuju impian.

Aku tak pernah tahu, barangkali dalam hatinya Abang masih berharap, uang hasil ia bekerja dapat ia gunakan untuk kuliah. Tapi, sampai bertahun setelahnya, aku sadar bahwa semuanya tak sesederhana yang kukira.

Berapalah uang hasil kerja jadi tukang cuci? Berapalah upah tukang bangunan? Bertahun bekerja pun belum tentu dapat membiayai kuliah dan segala macam kebutuhannya. Sementara waktu bergulir dan diri pun menua.

Kini, aku kuliah di Kota Durian. Lulus SNMPTN! beasiswa BIDIKMISI pula. Tak perlu kuatirkan biaya kuliah. Sedangkan Abangku membuka usaha fotokopi dan berkeluarga di sebuah kota kecil di Pantai Timur. Bukan, bukan kota, hanya sebuah daerah kecamatan di Timur yang seram, seperti namanya. Pulau Seram.

Setiap bulan, Abang mengirimkan aku uang jajan. Ia bilang aku tak boleh memberatkan Ibu. Aku pernah mencari alamat Abang di Google Maps, tapi tak ada. Yang ada hanya nama pulaunya. Entah bagaimana setiap bulan ia mengirimiku uang, kuat dugaanku belum ada ATM yang dekat dari desa Abang.

Sekarang, sudah tanggal tua di bulan delapan. Bila tak ada uang beasiswa BIDIKMISI, barangkali dompetku sudah tipis tak berisi.  Aku ingin mengirimi Abang pesan singkat, bukan untuk meminta uang. Hanya ingin bilang,

 “Bang, kapan? Kapan kau berhenti berkorban untukku? Kapan aku bisa meringankan bebanmu?,”

Kini, aku bersyukur pada Tuhan, karena BIDIKMISI, tak perlu aku jadi tukang cuci supaya bisa kuliah.  Tak perlu aku banting tulang seperti yang pernah dilakukan Abang. Terimakasih BIDIKMISI, karenamu aku bisa. Aku bisa bermimpi lebih tinggi. melangkah lebih jauh lagi, lebih dekat pada mimpiku. Terbang lebih tinggi dari pada layang-layang kami dulu.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment