AKU DAN BIDIKMISI

Oleh : Amalia Pratiwi

Suasana kelas sangat ramai, tidak seperti biasanya. Hari ini enam kelas XII digabung menjadi satu ruangan. Tiga kelas IPA dan tiga kelas lagi kelas IPS. Hari ini akan ada pengarahan SNMPTN kepada seluruh siswa siswi kelas XII SMA NEGERI 1 AIR PUTIH oleh bapak Syahriadi selaku guru yang membimbing kami. Kuperhatikan setiap wajah teman-temanku yang begitu antusias dan serius dengan pengarahan tersebut. Namun ada juga yang asik sendiri dengan gadget dan handphone nya karena tidak tertarik untuk melanjut belajar ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih memilih untuk bekerja. Begitu banyak pertanyaan dari kami ketika dipersilahkan untuk bertanya, terutama dalam hal mengisi data.

Sambil mendengarkan teman-teman yang lain bertanya, aku pun termenung dalam kebimbangan. Aku sangat ingin melanjut sekolah ke Perguruan Tinggi Negeri, aku ingin menimba ilmu, aku ingin memiliki banyak teman, aku ingin… ku ingin. Tapi bagaimana dengan biayanya. Biaya kuliah tidaklah murah. Darimana aku bisa mendapatkan uang untuk bayar kuliah. Selama ini uang jualan kripik cukup untuk ongkos sekolahku dan adik-adik. Bagaimana mungkin untuk biaya kuliah yang sangat mahal seperti kata banyak orang.

“Gak usah kuliah kalo gak punya uang, nanti putus ditengah jalan.” Itulah yang sering kudengar. Anggapan masyarakat berdasarkan kenyataan yang diketahuinya. Sedih sekali rasanya mendengar hal itu, semangatku seperti ditumbangkan. Sepertinya aku memang harus menerima kenyataan bahwa inilah yang terjadi, jadi jangan berharap lebih. Terasa sesak sekali rasanya dada ini menahan dan menerima kenyataan itu.

Pikiran itu selalu terbayang dibenakku. Tidak mungkin kukorbankan sekolah adik-adikku hanya untuk biaya kuliah. Egois sekali rasanya. Hampir saja bendungan air di mata ini tumpah mengenai jilbab panjang yang kukenakan. Namun segera kutepis dan tersadar bahwa aku tidak boleh putus semangat. Jika aku tidak memulai suatu perubahan, bagaimana dengan masa depanku dan adik-adik. Jika aku tidak bersemangat, bagaimana dengan adik-adik. Aku tak bisa membiarkan hal ini terlalu lama. Aku harus bangkit walaupun tidak tahu dengan cara apa dan bagaimana. Dan aku masih punya impian dan tekad untuk berubah. Untuk membahagiakan orangtua dan adik-adik. Tanpa berfikir lama lagi, aku kembali mengatur nafas dan memperbaiki posisi duduk untuk kembali fokus dan meninggalkan rasa pesimis itu. Meyakini dalam hati bahwa jika ada niat pasti ada jalan yang akan Allah berikan. Hanya itulah yang menjadi modal dasar dari niatku ini. Rasa bimbang kembali muncul pada saat mengisi data gaji orangtua perbulan. Ingin menangis rasanya hatiku. Malu dengan gaji orangtua yang tidak seberapa dan sedih mengapa aku yang mengalami hal ini.

“Isi gaji orangtua. Ayah dan Ibu. Buat yang sebenarnya dan yang dirasa bisa untuk dipertimbangkan oleh pihak universitasnya.” Kata salah seorang guru disekolahku. Hatiku kembali ciut dengan pengharapan yang sangat kecil untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun tanganku tetap saja bergerak untuk mengisi formulir pendaftaran itu. Dan dengan tegar aku kembali mengatur nafas untuk memberi semangat di jiwa ini dengan lafadz Bismillah, insyaAllah berkah. Teman-teman yang bingung ingin menulis berapa seharusnya gaji orangtua yang dicantumkan agar bisa masuk PTN. Ada yang diganti dengan menulis jumlah yang lebih besar, ada juga yang tetap dengan jumlah yang sebenarnya dan tidak diubah. Salah satunya adalah aku. Setelah semua selesai mengisi data, kami asik bercerita masing-masing. Masih membahas dalam pengisian formulir SNMPTN, terutama mengisi gaji orangtua.

“Untungnya aku masih punya uang di tabungan, tapi gak banyak sih cuma 1 juta” kata salah seorang temanku.

Lagi-lagi aku hanya bermain dengan pikiranku sendiri, dan bertanya dalam hati ‘Apa yang kupunya? Untuk ongkos sehari-hari saja harus dicari dulu dengan berdagang, apalagi tabungan’

“Hemm…” hela nafasku.

Entah apa yang membuatku untuk terus melangkah maju. Hanya modal nekad dan pasrah yang bisa kulakukan. Dengan sebuah keyakinan akan adanya kemudahan dan pertolongan Allah. Ditengah-tengah tiada kemampuan finansial diri dan orangtua, berani-beraninya aku mendaftar kuliah. Lagi-lagi, sesak rasanya dada ini menahan tangisan dan jeritan hati. Namun, inilah keadaan yang harus kuterima.

Setelah pengarahan dan pengisisan data selesai, kami kembali ke kelas masing-masing. Aku dan beberapa temanku diminta untuk tetap tinggal diruangan. Entah apa yang akan terjadi, aku hanya pasrah. Mungkinkah ia akan mengatakan bahwa dengan jumlah gaji yang sekecil itu sangat mustahil untuk diterima oleh PTN. Ah, entahlah. Belum selesai dengan lamunan hati, guru kami mengatakan bahwa kami diusulkan untuk ikut BIDIKMISI. Awalnya aku tidak mengerti apa dan bagaimana BIDIKMISI itu. Namun setelah dijelaskan, aku sangat senang dan sangat bersyukur. Akhirnya pertolongan Allah datang disaat yang tepat. Walaupun kami tahu, ini belumlah hasil akhir. Tapi kami terutama aku tetap optimis. Selalu dan tiada lain do’a dalam dhuha ku meminta.

“KuasaMu diatas segala-galanya ya Rabb. Tiada yang tidak mungkin jika Kau telah berkehendak.”

Layaknya seorang anak yang menangis kepada ibunya untuk diberikan permintaanya. Aku sadar, saat ini hanya kuasa-Nya lah yang bisa kuharapkan. Niat baik, ikhlas, Lillah untuk menimba ilmu untuk bahagia orangtua dan menaikkan derajatnya. Menjadi manusia yang berguna, itulah prinsip hidupku. insyaAllah berkah.

Hari demi hari, jam demi jam, detik demi detik. Hati kami resah dan dag dig dug menunggu hasil pengumuman keluar. Dan pada hari yang dinanti pun tiba.

Subhanallah, MahaS uci Engkau ya Allah. Sungguh, Engkau menilai proses dalam sebuah pekerjaan,” gumamku dalam hati.

 Alhamdulillah aku diterima di FISIP USU dengan jurusan Ilmu Administrasi Negara dan dengan BIDIKMISI tentunya. Terbayar sudah dengan apa yang kulakukan selama ini. Semangat yang tak pernah putus yang selalu mengalir dari orangtua terutama ibu dan adik-adik. Dan selalu disertai do’a keikhlasan.

Cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadi yang sangat memberiku motivasi untuk terus melangkah dengan niat Lillah untuk bahagia ibu bapak tercinta. Selama diri masih bernafas dengan derap tiap langkah yang insyaAllah membawa berkah. Aku disini untuk mereka, karena mereka dan atas do’a mereka.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment