AKU DAN PERJALANAN HIDUPKU

Oleh : Samsudin*

Kisahku dimulai ketika sebuah bencana alam melanda tempat tinggalku, banjir yang kami alami adalah yang paling besar yang melanda kota Indrapura. Pecahnya sebuah tanggul dan derasnya hujan adalah awal dari tragedi banjir besar tersebut, kejadian tersebut terjadi ketika malam hari sekitar pukul 21.00. Suara-suara orang terdegar gaduh di jalan, saat keluar rumah air sudah memenuhi pekarangan rumah. Anehnya proses pertambahan ketinggian air terjadi begitu cepat. Saat ujian hidup tersebut aku, ibuku dan keempat saudaraku melaluinya tanpa hadirnya seorang ayah, pada saat itu beliau pergi merantau ke daerah terpencil ujung Sematera Utara yang berbatasan dengan Riau. Keadaan semakin panik ketika air mulai memasuki rumah dengan begitu cepatnya, tetangga yang kebetulan memiliki sebuah mobil bak terbuka mengajak kami untuk segera mengungsi ke kampung mereka, hanya baju di badanlah yang bisa kami bawa. Pada saat itu aku masih berumur 7 tahun, di bangku kelas 2 Sekolah Dasar.

Dampak dari banjir tersebut hampir sebulan lamanya sekolah diliburkan. Karena hal itu jugalah kemudian ayahku mengajak kami untuk pindah ke daerah perantauannya. Seiring dengan berjalannya waktu serta sekolah yang awalnya asing buatku akhirnya aku sudah mulai bisa beradaptasi dan mengerti bahwa hidup di daerah ini memang begitu keras dan sulit. Apalagi melihat kondisi ayah yang serba kekurangan bahkan untuk makan sekalipun keadaan inilah yang memaksakanku untuk turut serta mencari isi perut yang besarnya tak seberapa ini. Jalan sebelum aku mengenal apa arti hidup yang sebenarnya dan ketika semua orang lebih menyibukkan urusan pendidikan aku justru dihadapi dengan kejamnya dunia. Bahkan sekolah kuanggap sebagai kepentingan kedua setelah isi perut keluarga. Sepulang sekolah aku sudah disibukkan dengan pekerjaan mengais sisa panenan kelapa sawit dengan mengumpulkan butir demi butir buah kelapa sawit yang tersisa setelah dipanen, uang yang aku dapat lantas aku gunakan untuk keperluan sekolahku yang memang jumlahnya tak seberapa. Awalnya aku melakukan hal ini tanpa sepengetahuan orangtuaku, karna pada dasarnya mereka tidak mengizinkan apa yang aku perbuat kalau mereka tau, mereka memaksaku untuk lebih serius sekolah tanpa ada hal lain, mereka menganggap urusan keuangan sepenuhnya di tangan mereka. dikarnakan keadaan yang memaksakan aku untuk melakukan hal itu dan akhirnya orang tuakupun akhirnya menyetujuinya. Tidak hanya itu saja, sore harinya aku juga menyempatkan membantu tetanggaku untuk menyiram tanaman bibit kelapa sawit yang masih muda dan diletakkan pada pot yang jumlahnya tidak terhitung bayaknya. Dari hasil menyiram aku juga diberikan upah yang lumayan sesuai dengan pengerjaannya. Sesekali ketika hari libur aku juga sering menjadi pekerja harian di sebuah lahan perseorangan yang ditanami kelapa sawit. Berbagai macam jenis pekerjaan kulakukan bersama ayahku mulai dari membabat rumput, menyemprot rumput sampai memanam pohon kelapa sawit, ini semua kulakukan karna keadaan yang memaksakanku untuk melakukannya.

Masa putih merahku berlalu dan berganti dengan dengan putih biru hal inipun tidak lantas membuatku berhenti bekerja dan memfokuskan sekolahku yang tidak jelas akhirnya akan seperti apa, untuk apa dan menjadi apa. Aku mulai mencoba hal lain dengan beternak kambing milik tetanggaku sistem pengerjaannya dilakukan di siang hari dengan cara melepaskan kambing-kambing tersebut dari kandangnya dan mengiringnya ke tempat yang banyak memiliki rumput dan kebetulan daerah disekitar kampung tempat aku tinggal hampir 75% dikelilingi dengan perkebunan kelapa sawit, siang hariku kulalui bersama kambing baik itu hujan, panas ataupun kendala lainnya. Terakhir setelelah aku tidak bekerja lagi kambing yang aku rawat jumlahnya 98 ekor.

Proses dimana yang awalnya hanya kulakukan untuk diriku sendiri yang kemudian berujung  keluarga adalah pada masa SMA ku, hampir semua pekerjaan yang menguras tenaga sudah pernah aku lakukan dan akhirnya menyadarkanku bahwa semua itu tidak akan berubah kalau terus-menerus seperti itu. Aku ingat sekali apa yang dikatakan oleh ayahku pada masa itu, beliau berkata “Cukup ayah saya yang seperti ini, Ayah tidak mau anak-anak Ayah seperti Ayah, sudah susah tak memiliki ilmu pula”. Dan mulai saat itulah aku berkata pada diriku  mau sampai kapan aku hidup dengan bekerja keras menggunakan otot, dunia pasti berputar pasti ada masa dimana aku harus beralih dari otot ke otak. Aku memutuskan untuk serius belajar, hari demi hari aku lalui dengan kuras otakku, mencoba untuk fokus pada sekolah yang hampir tidak pernah kubawa serius. Buah dari hasil perjuanganku saat aku memperoleh juara 1 pertama kalinya sepanjang hidupku, sepanjang aku mengenal dunia sekolah yang kurang lebih 9 tahun 6 bulan kujalani. Bukan hanya itu saja, aku juga memperoleh juara umum ke 2 serta gratis uang sekolah pada masa itu.

Ketika sebuah kesenangan datang maka akan ada lagi dan lagi cobaan yang tak tau kapan akan berakhir, kali ini adalah masa paling terpuruk yang dialami keluargaku dengan masalah yang sama yaitu ekonomi. Hal ini yang mengharuskan aku untuk bekerja kembali tapi bukan untuk diriku sendiri melainkan untukku dan keluargaku. Karna menanggung beban untuk keluarga akhirnya aku memutuskan bekerja di malam hari, menjaga sebuah alat berat disebuah penambangan tanah liat, tanah tersebut dikirim ke sebuah pabrik pembuatan keramik di kota Medan. Pekerjaan ini kulakukan hampir dua setengah tahun lamanya, banyak cerita duka yang kurasakan ketika bekerja dimalam hari. Cerita yang paling menyedihkan adalah disaat bekerja di bulan Ramadhan, jauh dari keluarga sudah biasa buatku tetapi hal yang menyedihkan ialah di saat sahur ditemani dengan air, nasi dan sayur yang dingin. Terkadang terlintas di benakku mengapa hidupku begitu sulit dengan meneteskan air mata mengingat akan perjuangan yang tidak tau kapan akan berakhir, sebenarnya aku tidak mau hidup seperti ini tapi apa daya keadaan yang memaksakanku untuk hidup seperti ini, tapi itu semua tidak lantas memutuskan semangat belajarku, nilai juga tidak turun. Terlambat ke sekolah kulalui dengan senyuman, dihukum karna terlambat kulakukan dengan senyuman karna aku tau dunia pasti berputar, aku juga sempat menjabat menjadi ketua OSIS pada masa itu, walaupun tidak banyak yang kuperbuat setidaknya aku berani untuk berbuat ditengah-tengah kesibukkan kerjaku. Akhir yang mengharukan dari masa SMA ku ketika aku diterima diperguruan tinggi negri di Sumatera Utara yaitu USU dengan proses seleksi jalur SNMPTN di jurusan Ilmu komputer. Merupakan hal yang membanggakan bagi Ayah dan Ibu tapi dibalik kesenangan yang dipancarkan wajah mereka terlihat jelas mereka juga sedih akan nasibku bagaimana ke depannya. Bagaimanapun untuk makan sehari-hari saja ayah perlu berjuang keras apa lagi untuk biaya kuliah. Kesedihan itu berkurang saat mereka mengetahui aku lulus dengan mendapatkan biaya siswa dari pemerintah untuk siswa yang tidak mampu tapi berprestasi yaitu BIDIKMISI. Tapi tetap saja masih ada kesedihan yang mereka rasakan. Bagaimanapun uang biaya lainnya yang harus ditanggung sendiri yang mana itu harus dilakukan di awal kuliah. Hal itu jugalah yang memutuskan mereka meminjam uang ke tetangga sekitar rumah. Berangkatlah aku ke kota Medan dengan pegangan uang sekitar tujuh ratus ribu rupiah bersama dengan teman yang juga lulus di USU dengan jurusan yang beda tapi mendapatkan beasiswa BIDIKMISI juga. Di Medan, temanku tinggal dengan senior yang memang sesama wanita. Sedangkan aku harus rela tinggal sementara waktu di sebuah masjid yang tak jauh dari USU. Lagi-lagi aku dihadapkan dengan masalah yang memang benar-benar menyangkut masa depanku dan membuatku hampir tidak bisa berhenti menangis seakan tak percaya atas semua yang terjadi, apa salahku dengan hidup ini sehingga mereka begitu kejam menghukumku menjauhkan dari kebaikan hidup.

Beasiswa yang awalnya menjadi penolong kini harus kurelakan dikarenakan gagal. Saat proses pelaporan pendaftaran ulang namaku tidak tercantum di daftar calon mahasiswa BIDIKMISI USU malah beralih ke daftar mahasiswa reguler. Tak tau hendak berkata apa, berbuat apa dan siapa yang harus disalahkan yang jelas hanya ada kesedihan yang bercampur dengan kebingungan. Mencoba untuk tenang dan mencari solusi dari permasalahan ini, banyak cara yang dilakukan untuk mengembalikan beasiswa BIDIKMISI tersebut, pihak sekolah yang ikut serta dalam membantu mencari penyelesaian masalah ini dengan cara mengirim e-mail ke BIDIKMISI pusat yang kemudian mereka membalas untuk bertemu dengan PR III USU dan menjelaskan masalah ini dan akhir sempat juga berjumpa dengan bapak PR III setelah melalui proses yang panjang. Tapi apa daya memang kehendak jalanku yang memang harus seperti ini, Beliau berkata  “Kuliah tanpa beasiswa bukan berarti tidak bisa kuliah, percaya pasti bisa, kalau masalah beasiswa nanti pasti akan datang dengan sendirinya, yang jelas kamu harus tetap semangat”.

            Berawal dari semua ini aku mulai berfikir lebih panjang lagi, kalaulah aku menyerah dan memutuskan untuk kembali pasti nasibku akan seperti dulu lagi kerja, kerja dan kerja tanpa kejelasan kapan akan berakhir, kembali dimalam hari bergabung dengan dinginnya malam yang menusuk ketulang dimana ketika hujan hampir sepenuhnya pakaian di badan basah, terkadang sampai kering dengan sendirinya serta hampir setiap malam menahan kantuk begitu berat rasanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk memperjuangkan kuliahku walau apapun yang terjadi, uang kuliah kubayar dengan cara meminjam-minjam kepada senior serta bantuan dari sekolahku. Tak perduli apapun yang akan aku makan nantinya yang terpenting bagiku pada saat itu adalah  membayar uang kuliah. Esok harinya setelah uang terkumpul dan mencukupi akupun langsung membayar uang kuliah ke Bank yang telah ditentukan, selepasnya keluar dari bank tersebut, hati kecilku berbisik “Sekarang aku sudah menjadi mahasiswa, apapun yang terjadi nantinya inilah jalan yang kupilih”. Semua ini berkat jasa kepala sekolahku dan semangat pedulinya terhadap murid-muridnya yang membuatku berani untuk bermimpi, orang susah juga bisa kuliah. Pada saat penyerahan berkas aku dihadapkan dengan sorang kakak yang aku tidak tau siapa dia,  yang aku tau dia berkerja di bagian penerimaan berkas pada waktu itu, dia melihat-lihat berkas-berkasku sebelum mengumpulkanya kemudian dia bertanya “Dek, uang kuliah kamu tergolong dibawah rata-rata, kenapa adek tidak coba BIDIKMISI aja? ”

Berawal dari pertanyaan itulah aku mulai menjelaskan dari awal masalah yang kuhadapi kepadanya saat itu, kemudian dia bertanya lagi“ Dek, kakak boleh minta nomormu? Biasanya setelah penjaringan dan pendataan terkadang ada calon mahasiswa bidikmisi USU yang telah lulus namun tidak melanjutkan kuliah, nah dari yang seperti inilah USU membuat BIDIKMISI susulan untuk kayak adek yang bermasalah BIDIKMISInya, nanti kakak kabari kelanjutannya”. Setelah kejadian itu hampir 3 minggu aku menjalani kuliah dengan status mahasiswa Reguler bukan BIDIKMISI. Akupun mendengar info mengenai pengajuan BIDIKMISI susulan dari seorang kakak yang tak tahu entah mengapa begitu peduli kepada orang sepertiku. Sempat terbesit dikepalaku ternyata masih banyak orang baik di kota Medan ini. Setelah melalui proses yang begitu panjang dan harus bolak-balik ke Biro USU akhirnya tibalah pada proses wawancara calon penerima biaya siswa BIDIKMISI. Kurang lebih satu bulan lamanya aku menunggu dengan harap-harap cemas seperti apa kelanjutan BIDIKMISI tersebut. Yaa sudahlah, mungkin jalanku memang seperti ini, aku takkan mungkin bisa memaksakan apa yang bukan kehendakNya. Tanpa disangka-sangka dan mungkin memang kehendak yang Maha Kuasa, ketika pengumuman nama penerimaan BIDIKMISI USU 2013 dan namaku salah satu di antara mereka yang menerimanya.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment