AKU DAN PERJALANAN HIDUPKU

Oleh : Sahat Marito Marbun *

Aku adalah seorang laki-laki yang lahir di keluarga yang berkecukupan. Aku anak ketiga dari lima bersaudara, aku mempunyai dua kakak, satu adik laki-laki, dan satu adik perempuan. Perjalanan hidupku dari kecil hingga sekarang penuh dengan cobaan yang terkadang membuat aku merasa lelah untuk bertahan hidup. Saat masih duduk di sekolah dasar, aku belajar dan terus belajar dimana lingkungan saat aku duduk di sekolah dasar tidak terlalu memperhatikan ilmu pendidikan. Tempat tinggalku saat itu lebih memperhatikan ekonomi yang membuat anak sebayaku saat itu lebih hedonis. Aku sempat terpengaruh oleh situasi tersebut sehingga ketika aku tamat dari sekolah dasar, orang tuaku memindahkan aku sekolah ke daerah yang masih terpencil namun mengutamakan pendidikan untuk anak-anak daerah tersebut.

            Memulai hidup di lingkungan yang baru bukan hal yang mudah, aku harus menyesuaikan diri dan mempelajari kehidupan di lingkungan baru ini. Di bangku sekolah menengah pertama, aku tingggal di rumah Bapa Uda. Saat aku tinggal bersama dengan orang tuaku, kerjaaan rumah bukanlah bagian dari aktivitasku. Tetapi saat tinggal di rumah Bapa Uda aku harus belajar untuk melakukan pekerjaan rumah. Rasanya tidak menyenangkan karena aku seolah-olah dilatih kebiasaan seorang perempuan. Setiap pagi aku harus memasak dan mencuci piring di sungai sebelum berangkat sekolah. Uang jajan sangat jauh berbeda saat itu dibanding saat tinggal dengan orang tua. Namun saat-saat pahit dengan keluarga Bapa Uda hanya berlangsung sampai aku duduk di kelas dua SMP karena pada saat kenaikan kelas, keluargaku pindah ke tempatku sekolah sehingga aku lebih memilih untuk tinggal bersama keluargaku.

            Masa-masa putih biru telah berlalu, namun aku masih bingung mau melanjutkan kemana. Aku berniat untuk sekolah di seminari, namun kedua orang tuaku tidak mengizinkan karena aku anak laki-laki paling besar dalam keluarga kami. Harapan orang tuaku supaya nantinya aku bisa berketurunan sehingga tetap berlanjut keturunan keluarga kami. Meskipun begitu, aku tidak menyerah untuk melanjutkan pendidikan, maka aku memilih untuk melanjut ke Sekolah Menengah Atas swasta. Untuk kedua kalinya aku harus belajar berbaur dengan lingkungan baru, namun semua itu berjalan dengan lancar. Aku memulai proses belajarku di tingkat SMA dengan senang hati dimana tempatku sekolah saat itu merupakan salah satu sekolah favorit dan terbaik di Kecamatan.

            Waktu terus berlalu dan tidak terasa aku sudah duduk di kelas 2 SMA. Aku diutus sekolah untuk berangkat ke Kabupaten dalam rangka mengikuti Perkemahan Pramuka se-Kabupaten Humbang Hasundutan. Usaha dan kerja kerasku tidak sia-sia karena aku berhasil meraih juara 2 perlombaan Bahasa Batak Toba. Sungguh suatu kebanggaan bagiku dapat membawah nama baik SMAku ke tingkat Kabupaten. Mulai saat itu akupun mendapat perhatian lebih dari Kepala Sekolah dan Guru-guru kami. Namun aku belum puas berkarya untuk sekolahku. Aku terus belajar dan berusaha aktif dalam organisasi sekolah.

            Namun, sungguh tidak kusangka harus menerima cobaan hidup yang membuat aku merasa terpukul dan ingin menyerah melanjutkan sekolahku. Saat semester dua di kelas dua SMA, kedua orang tuaku berkelahi. Ibu yang melahirkanku memilih pergi meninggalkan Ayahku dan kami anak-anaknya. Biasanya aku meminta uang sekolah per bulan namun pada hari dimana Ibuku akan pergi, Ibu memberikan uang sekolah untuk 1 bulan berikutnya dan aku menaruhnya di kantong jaketku, aku tidak tau kalau Ibu akan pergi hari itu. Dengan semangat dan tekad aku berangkat kesekolah, tetapi sesampainya di sekolah aku mengambil uang sekolahku itu tapi uang untuk satu bulan berikutnya hilang dari kantong jaketku. Aku panik dan bingung harus mencari kemana gantinya. Bunyi bel pulang telah berdering, dengan lemas aku melangkahkan kaki dari kelas dan pulang. Sesampainya di rumah aku belum mengetahui kalau Ibuku telah pergi. Malam harinya aku bertanya kepada adik perempuanku,

“Dimana Ibu dek? Dari tadi siang tidak ada kulihat,” lalu dengan nada halus adikku menjawab,

“Ibu sudah pergi meninggalkan kita, Ibu lari dan tidak memberitahu kemana pergi”.

Mendengar kata-kata itu aku hanya bisa terdiam, pikiranku mengambang, mataku berkunang-kunang, perlahan air mataku membasahi pipiku. Saat itu pikiranku tidak lagi terpusat untuk melanjutkan sekolah tetapi aku berniat untuk mencari Ibu. Namun aku mencoba berpikir positif dan memikirkan Ayah dan adik-adik bagaimana kalau aku juga pergi meninggalkan mereka, mungkin masalah akan tambah besar jika aku pergi juga. Dengan berat hati aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama Ayah dan adik-adikku.

            Untuk yang ketiga kalinya aku harus belajar hidup di situasi yang baru, aku harus belajar hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu. Setelah kepergian Ibu, aku merasa setengah semangat hidupku hilang, hal itu tampak jelas dari prestasiku di sekolah. Aku mulai tidak terarah dan rasa malas lebih besar dari pada semangat. Aku harus menderes ke hutan setelah pulang sekolah supaya aku dapat membayar uang sekolah dan membeli perlengkapan sekolah sekaligus ikan untuk kami makan. Ayahku tidak memperhatikan dan memenuhi kebutuhan kami.

Suatu ketika saat duduk di kelas 3 SMA, Kepala Sekolah memanggilku ke kantornya dan bertanya, “Kenapa kamu jadi bandel sekarang? Waktu kelas satu dan kelas dua prestasimu baik tapi sekarang jauh menurun.”

Dengan nada rendah aku mulai menceritakan masalah keluargaku, suaraku seakan hilang, air mataku mengalir dan aku merasa bebanku terungkit. Setelah aku menceritakan semuanya kepada kepala sekolah, aku mendapat nasihatnya. Ia berkata, “Ibu turut sedih, tapi satu hal pesan Ibu, jangan jadikan masalah keluargamu jadi penghalang untuk menuntut ilmu tapi kamu harus berpikir kalau itu adalah tantangan dan kamu harus buktikan kalau kamu bisa hidup dan sekolah tanpa Ibu”.

Bebanku terasa sedikit berkurang dan aku menyimpan pesan kepala sekolah di ingatanku. Saat sekolah mengadakan pentas seni siswa, untuk yang kedua kalinya aku membanggakan sekolah. Aku membawakan suatu pertunjukan Tor-tor dan acaranya sukses. Saat penampilan banyak orang tua yang datang menyumbang untukku, dengan rasa bangga aku menunjukkan yang terbaik, suara orang tua dan semua orang yang hadir di  tempat itu terdengar senang dan terhibur. Tetapi aku merasa sangat sedih karena aku melihat orang tua dari kawan-kawanku hadir untuk menyaksikan pertunjukan anaknya, sedangkan orang tuaku tidak menyaksikan apa yang kutunjukkan. Aku merasa minder dari kawan-kawanku. Terkadang aku berpikir kenapa aku harus lahir ke dunia ini kalau hidupku menderita.

Keesokan harinya kepala sekolah memanggilku kekantornya lagi, Ia bertanya,” kemana rencanamu melanjut, Sahat?”

Dengan sedih aku menjawab “Aku tidak melanjut Bu, aku mau merantau, karena Ayahku tidak akan sanggup membiayai jika aku melanjut kuliah tapi aku sangat berniat untuk melanjut”

Lalu kepala sekolah menjawab “Kalau begitu ikuti saja SBMPTN itu, siapa tau kamu masuk”. Dengan penuh semangat kuiyakan tawarannya.  Beberapa bulan kemudian tibalah waktunya Ujian Nasional, aku berdoa supaya aku tetap semangat dan dapat menjawab soal-soal yang diberikan. Hari berganti minggu, masa Ujian Nasional pun berlalu, libur panjang menanti. Saat libur aku pergi ke rumah Bapak Tua, disana aku membantu Bapa Tua kerja bangunan dengan harapan aku diongkosi pergi merantau.

Waktu yang ditunggu-tunggu yaitu pengumuman kelulusan. Aku lalu aku menelepon Ayah dan ternyata aku lulus! Sungguh suatu kebanggaan dan kebahagiaan untukku. Berselang beberapa jam kemudian, aku mendapat SMS dari kepala sekolah yang menyatakan bahwa aku menang jalur undangan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian. Aku benar-benar merasa senang sekaligus kaget, ternyata doaku dikabulkan dan mungkin inilah hikmah dari cobaan yang aku terima.

Aku berangkat ke Medan untuk daftar ulang dengan uang Rp.500.000 hasil dari jerih payahku membantu Bapa Tua. Dengan harapan dan tekad yang kuat, aku berangkat meskipun uang yang aku bawa kurang dari cukup. Aku menumpang di kos kawan sekampungku. Walau diperlakukan seperti pembantunya, tetapi tidak masalah bagiku. Urusan daftar ulang sudah selesai kulakukan. Berikutnya adalah hari masuk kuliah. Aku mulai bingung karena aku tidak punya uang untuk membeli perlengkapan kuliah ditambah lagi kawan sekampungku mau pindah ke arah Pajak Melati, semangat dan tekadku mulai pudar. Keesokan harinya aku berangkat ke kampus dan suatu benar-benar pertolongan dari yang Maha Kuasa membukakan hati Abang satu jurusanku yang mengajak aku tinggal bersamanya.

Uang benar-benar tidak ada kupegang bahkan untuk beli makan, semua makanan dan keperluan kuliahku ditanggung oleh abang itu, sedangkan uang BIDIKMISI masih lama cair. Benar-benar suatu tantangan yang berat ditambah lagi aku harus belajar menyesuaikan kehidupan di kampus. Kawan-kawan satu kelasku, abang dan kakak satu jurusanku banyak menolong aku sehingga aku bisa bertahan, namun aku berpikir tidak mungkin terus begini, maka aku menanya abang-abang satu jurusanku kerjaan yang tidak mengganggu kuliah dan ternyata ada. Aku ikut kerja dengan abang itu yaitu kerja catering yang dibawakan oleh salah satu Dosen Pariwisata, dan syukur itu sangat membantu aku. Gaji yang tak seberapa tapi aku bersyukur gajinya bisa aku gunakan untuk beli makan.

Untuk dapat bertahan hidup dan melanjutkan kuliahku, maka aku meminjam uang dari kawan-kawanku, abang dan kakak satu jurusanku sebelum uang BIDIKMISI cair. Begitu cair uang bidik misi aku langsung membayar uang yang aku pinjam. Kehidupanku seperti kata pepatah “Gali Lobang, Tutup Lobang”, begitulah caraku supaya bisa bertahan. Walaupun begitu aku tetap bersyukur bisa mendapatkan BIDIKMISI sehingga aku bisa kuliah karena kedua kakak tidak bisa kuliah karena ekonomi keluarga. Aku dibantu kakak ketika aku benar-benar tidak ada uang untuk beli makan. Aku kuliah untuk diriku dan keluargaku karena akulah ganti Ayahku nantinya untuk kakak dan adik-adikku. Harapan besarku suatu saat nanti aku bisa bertemu Ibuku dan bisa menyatukan keluargaku lagi.  Aku berprinsip dalam hidup ini, “Tidak ada masalah yang tidak bisa terselesaikan jika dibarengi dengan tekad yang besar, Aku akan tetap berjuang untuk hidup dan memperoleh gelar Sarjana”

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment