Haloo Sobat Marhatahata,,,
Pandangan Sastrawan dan Ilmuwan tentang Rasa yang Menggetarkan Jiwa
Rindu — sebuah kata sederhana namun sarat makna. Ia hadir saat jarak tercipta, saat kehadiran menjadi kenangan, dan saat hati menggema oleh kehilangan. Rindu bukan sekadar rasa, tapi bisa menjadi puisi, lagu, bahkan gejala ilmiah.
Dalam artikel ini, kita akan melihat bagaimana sastrawan dan ilmuwan memaknai rindu.
Rindu dalam Pandangan Sastrawan
1. Sapardi Djoko Damono – Rindu yang Tenang dan Dalam
Dalam puisinya yang terkenal “Aku Ingin”, Sapardi menulis:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…”
“…dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
Meski tidak menyebut kata “rindu” secara langsung, puisi ini adalah bentuk rindu paling halus — rindu akan keberadaan yang sederhana, yang tak bisa dijelaskan kata-kata.
2. Chairil Anwar – Rindu sebagai Pemberontakan Jiwa
Dalam sajak “Aku”, Chairil mengekspresikan perasaan asing dan rindu akan tempat dan pengakuan:
“Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang.”
Chairil sering menggambarkan rindu sebagai bentuk keterasingan, sebagai emosi liar yang meledak dari kesepian.
3. Joko Pinurbo – Rindu dalam Simbol-Simbol Sehari-hari
Puisi-puisi Joko Pinurbo membungkus rindu dengan humor, absurditas, dan kesederhanaan:
“Rindu itu seperti celana dalam: dekat, melekat, namun sering luput dari perhatian.”
Sastrawan ini menunjukkan bahwa rindu bukan hanya menyakitkan, tapi juga manusiawi dan bisa ditertawakan.
Rindu dalam Pandangan Ilmuwan
1. Neurosains dan Otak yang Merindukan
Menurut penelitian neurosains, saat kita merindukan seseorang, otak melepaskan dopamin, hormon kesenangan yang sama ketika kita jatuh cinta (Zeki, 2007).
Ketika seseorang yang kita cintai jauh, otak kita “craving” kehadiran mereka, seperti tubuh menginginkan zat adiktif. Inilah kenapa rindu bisa terasa menyakitkan, bahkan secara fisik.
2. Psikologi – Rindu sebagai Reaksi Emosional terhadap Keterpisahan
Dalam psikologi, rindu adalah bagian dari attachment theory (John Bowlby). Rindu adalah reaksi alamiah dari otak saat hubungan emosional terganggu karena jarak atau kehilangan.
Jika keterikatan kuat, maka rindu pun terasa lebih mendalam dan sulit diatasi.
3. Sosiologi – Rindu dalam Konteks Sosial dan Budaya
Sosiolog memandang rindu sebagai fenomena budaya. Misalnya, dalam budaya Jawa, kata “kangen” memiliki nuansa spiritual dan emosional yang dalam. Rindu juga menjadi alat sosial untuk menjaga relasi antarindividu yang dipisahkan oleh waktu atau ruang.
Kesimpulan: Rindu adalah Jembatan Jiwa
Dari puisi hingga laboratorium, rindu adalah bahasa universal. Ia tidak hanya milik para penyair, tetapi juga diamati dan dijelaskan oleh para ilmuwan.
Rindu adalah bukti bahwa kita pernah terhubung, dan masih ingin terhubung. Ia bukan kelemahan, tapi kekuatan emosional yang membentuk kemanusiaan kita.
Referensi:
- Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin (1989)
- Chairil Anwar, Aku (1943)
- Joko Pinurbo, Celana (2004)
- Zeki, S. (2007). The neurobiology of love. FEBS Letters.
- Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss.