MENGUBAH KELUH MENJADI PELUH

Oleh : Abdiman*

Terasa asing jalan setapak ini, seperti jarang dilalui orang, ataukah demikian hati-hati orang menempuhnya hingga tiada tertinggal jejak-jejak langkah? Mungkin telah banyak yang menyerah dan berhenti di tengah jalan, tapi barangkali ada pula yang berhasil mendaki terus menerus hingga sampai ke puncak. Ahh, tiada guna menduga-duga, lebih baik kutempuh saja. Beginilah kisahnya :

Pertengahan April 2012. Sore itu hujan turun demikian derasnya, langit kelam. Aku berdiri di depan pintu, masih dapat kusaksikan daun-daun pohon karet yang telah menguning gugur beterbangan kehalaman rumah. Tiupan angin kencang membawa hujan lebat sore itu. Sebagaimana biasanya, setiap sore aku harus meninggalkan rumah. Menapaki jalan sejauh 2 kilometer untuk sampai ke sebuah toko pakaian, tempatku bekerja selama di SMA. Berbeda dengan teman-teman seusiaku yang menghabiskan waktu malam hari dengan belajar dan bermain-main sesuka hati, aku telah kehilangan kesempatan itu. Hingga jam sepuluh malam aku masih berada di tempat kerja. Bukan aku bermaksud ingin membanggakan diri dengan hidup mandiri. Tidak, sama sekali tidak.  Keadaanlah yang menimpakan atasku kewajiban yang sebenarnya belum siap  kutanggung. Sebab aku ingin sekolah, sebab aku ingin berubah, sebab hal-hal lain yang ada dalam angan-angan  dan harapan, sebab aku ingin hidup terhormat dan bermartabat, sebab, ahhh entah sebab apa lagi…

Saat itu aku terdesak demi hari esok yang lebih baik harus sesegera mungkin mengambil tanggung jawab atas diri. Pasalnya aku nyaris tidak bisa melanjutkan sekolah ke bangku SMA karena kondisi yang serba sulit saat itu. Masih terbayang saat- saat sulit itu, ketika masuk SMP Ayahku sakit-sakitan. Semasa itu beberapa bidang tanah perkebunan dan perumahan habis terjual untuk biaya pengobatan.Demikianlah ternyata jika Tuhan meminta kembali apa yang telah dititipkanNya. Dalam kondisi Ayah yang sakit-sakitan, Ibulah yang menjadi tulang punggung Keluarga. Pekerjaan apa saja selama itu masih halal dikerjakan oleh Ibu. Aku masih ingat ketika SMP, semenjak masuk aku tidak punya seragam sekolah yang baru kecuali yang baru dicuci. Pakaianku adalah pakaian abangku semasa di SMP, telah lusuh itulah yang kupakai. Demikian sulitnya orangtuaku tak mampu membeli seragam sekolah ketika itu.

            Saat-saat hujan disertai angin kencang kami yang berada dirumah  selalu ditimpa kecemasan. Rumah kami berdinding papan dan beratap daun rumbia, di beberapa sisi air hujan akan merembes masuk karena atap rumah yang bocor. Tapi bukan itu yang kami cemaskan, kami takut ketika angin bertiup kencang pohon-pohon nyiur yang tinggi dan melambai-lambai itu patah menimpa rumah. Belum lagi pohon-pohon karet tua yang dahan-dahannya menjulang tinggi , sangat mengancam keselamatan. Pohon-pohon itu ditanah orang lain, sudah sering kami minta ditebang tapi pemiliknya tak peduli.

Aku melihat ibu duduk dalam lamunan, wajah yang letih itu terlihat murung memikirkan banyak hal sejauh pikiran manusia dapat menjangkaunya. Kudekati Ibu lalu kemudian berkata “ Bu, sangat berat rasanya derita hidup ini. Bagaimanalah hidup kita akan berubah sedangkan  kita tak punya modal lagi untuk berusaha, tak punya tanah untuk bertani. Berikan aku izin untuk melanjutkan sekolah. Bagaimanapun caranya, itu satu-satunya jalan yang kulihat.” Kupandangi wajah ibu, hanya diam. Kemudian tersenyum, tapi perlahan keruhlah senyuman itu, mendadak mendung muncul di wajah ibu. Ibu menangis, beberapa saat kemudian akhirnya berkata “Nak, lihatlah bagaimana Ibu dan Ayahmu, lalu adik-adikmu yang masih sekolah. Apalah yang bisa kami berikan padamu sedang selama di SMA kau sendiri yang membiayai sekolahmu. Berdosalah Ayah dan Ibumu, tiada sanggup menyekolahkanmu”.

Kukuatkan hati mendengar kata-kata itu, ku tahan agar aku tak menangis tapi menangis juga aku akhirnya, terbata-bata aku berkata “Tiada dosa bagi Ayah dan Ibu, sebab Nasiblah yang telah ditentukan sedemikian ini, takdir memang sudah merupakan ketetapan  bu, tapi Nasib masihlah bisa di rubah, doakanlah aku bu, sebab aku masih ingin melanjutkan sekolah, sebab aku masih ingin merubah nasib. Kamilah Bu, sebagai anak yang akan berdosa jika tiada berbakti pada orang tua.”

Tiba-tiba ibu tersenyum mendengar kata-kataku, senyum yang menggambarkan pengharapan dan keyakinan, keyakinan bahwa anaknya kan berhasil. ”Jika demikian keras kemauanmu, hendaklah keras pula usahamu, jangan hanya berkeras kemauan tapi sejalankanlah dengan usaha dan doa. Tentu ibu selalu mendoakanmu, Ibu mana yang tiada sayang pada Anaknya. Tapi ingatlah nak, ingat baik-baik dimana bumi dipijak, hendaklah disitu langit di junjung. Berpandai-pandai meniti buih agar selamat badan sampai ke seberang, berpandai- pandai membawa diri jika nanti berada di rantau orang”. Aku tertegun mendengar kata- kata ibu, kupahat kata-kata itu dalam hati hingga menjadi kuatlah rasanya diriku ketika itu.

Untuk masuk ke perguruan tinggi negeri tidaklah mudah. Aku tidak terdaftar di jalur PMDK/jalur undangan sebab nilai rapor yang naik turun semasa di SMA. Sehingga aku harus menempuh jalur SNMPTN tertulis. Namun hal itu tidak kusesalkan, sedikitpun tidak. Sebab adalah hal yang wajar karena malam-malamku disibukkan dengan bekerja sedangkan di hari libur akupun berdagang ke pasar. Sedihnya ketika itu aku tidak punya biaya  untuk mengikuti bimbingan belajar, teman-teman sekolah sudah bepergian ke kota sedangkan badan yang sebatang ini terus jua bekerja siang malam. Hingga pada suatu kesempatan aku bertemu dengan guruku ketika SMA, sang guru bertanya apa sebabnya aku tidak bimbingan, lalu kuceritakan persoalanku. Demikian baik guru-guru semasa di SMA padaku, kali ini Bu guru akan mencarikan buku yang baik untukku, buku-buku yang membahas soal SNMPTN. Sepulangnya Bu guru dari Kota Padang aku pun menerima buku yang dijanjikan.

Siang malam buku itu kupelajari, ke tempat bekerja pun kubawa. Perlahan tapi pasti tumbuh juga rasa percaya diriku. Seminggu sebelum jadwal ujian SNMPTN aku berangkat ke kota Medan, dengan bekal uang Rp.750.000 gaji yang kuperoleh semasa bekerja sebulan terakhir. Di kota Medan aku menumpang di rumah  saudara, kian hari kian terasa menjadi penumpang itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Kadangkala tersiksa rasanya batin ingin sesegera mungkin pulang setelah ujian. Namun ada harapan yang masih di tunggu ada hasil yang harus dinantikan.  Dalam masa penantian itu aku bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan. Sore itu sepulang bekerja, langit sangat mendung disertai gerimis. Aku berlari-lari kecil melewati gang sempit menuju sebuah warnet. Saat itu pengumuman SNMPTN. Aku tertawa tapi tak bersuara, menangis beberapa saat tanpa mengeluarkan air mata, tak percaya rasanya aku lulus di Fakultas Hukum USU. Berkali-kali kumasukkan tanggal lahir dan nomor ujian untuk memastikan, hasilnya sama belaka, yaa … Aku lulus!

Ku kabarkan kelulusan itu pada orangtuaku, juga pada guruku. Ku ucapkan terima kasih tiada terhingga. Satu hal perkataan Bu guru yang hingga saat ini ku ingat “ Tuhan akan memberikan ketika waktunya telah tepat”. Tiada terkata bahagianya aku saat  itu, hujan itu tidak lagi kuhiraukan. Aku berjalan dengan tenang seakan-akan tiada hujan. Sesampai di rumah tempatku menumpang, kurenungkan peruntungan yang telah kudapatkan, pikiran ini mengingat-ngingat pula penderitaan yang selama ini ditanggung. Insyaflah diri bahwa Tuhan benar-benar adil, tiada kesia-siaaan jika ada usaha dan kesungguhan.Teranglah bahwa akhir itu lebih baik daripada permulaan. Sungguh, aku berkeyakinan bukan peruntungan semata yang membawaku pada kelulusan  tapi tak lain  karena usahaku dan doa orang tua ku.

Di awal perkuliahan aku masih menumpang dirumah saudara di Titi Papan, hampir satu jam perjalanan jaraknya dari kampus. Setiap hari harus menaiki dua angkot yang berbeda, melewati Kawasan Industri Medan hingga ke Simpang Mabar.S ungguh tempat tinggal yang tidak menguntungkan, sulit mencari pekerjaan sampingan.

Minggu berganti juga dengan bulan, kiriman orang tua tidak pernah datang dan akupun tak lagi berharap. Saudara yang kutumpangi adalah abangku sendiri yang telah berkeluarga, hidup mereka pun pas-pasan bahkan kadang kekurangan. Itu sebabnya terasa hina diri ini jadi penumpang, menumpangi yang tidak patut ditumpangi, menyusahkan yang tiada berhak disusahkan.

Untuk pertama kalinya aku menerima dana BIDIKMISI pada pencairan dana di semester awal sejumlah Rp 5.200.000 dirasa cukup  untuk biaya hidup selama enam bulan, meski pas-pasan. Pada semester berikutnya dana BIDIKMISI yang diterima hanya Rp 3.600.000. Menyedihkan memang, hanya cukup untuk sekedar biaya makan, itupun kurang jika harus makan 3 kali sehari. Katanya sih biaya hidup, apa disangka hidup mahasiswa hanya untuk makan. Sungguh banyak kebutuhan lain, buku pun tak punya. Kadangkala inilah yang membuatku lupa diri, tidak bersyukur, aku lupa aku telah diberikan  beasiswa, telah diberi kemudahan yang tanpa beasiswa itu aku tak kan mungkin bisa kuliah. Maafkan aku wahai orang-orang yang berkuasa, sungguh aku berkeyakinan banyak yang kondisi ekonominya seperti aku. Hanya bergantung pada beasiswa BIDIKMISI, tiada bantuan  dari orangtua. Tapi sayang diantara banyak yang  sepertiku banyak juga yang sebenarnya mampu. Itu sebabnya yang tak mampu tak bersuara dan akhirnya memampu-mampukan diri memutuskan untuk mengubah keluh menjadi peluh.

Akupun berusaha memampu-mampukan diri, pekerjaan kucari, namun sulit mendapatkan pekerjaan paruh waktu. Lalu aku mencari pekerjaan yang sekaligus bisa memberikanku tumpangan tempat tinggal. Aku tinggal dan bekerja di sebuah rumah makan, aku sudah sedikit mampu tapi ada juga tugas-tugas kuliahku yang tidak selesai. Yang lebih menyedihkan, kondisi kesehatanku agak menurun. Jam lima pagi harus bangun dan bekerja hingga sebelum berangkat kuliah, setelah pulang langsung bekerja lagi. Jarang ada waktu di siang hari untuk meluruskan badan barang sebentar. Sebab rumah makan yang kutinggali hanya ruko yang tak berkamar. Aku tidur di lantai, diantara meja-meja digelar tikar disitu badan yang malang ini beristirahat setelah jam sepuluh malam. Tengah malam terasa dingin lantai tempat badan direbahkan, pikiran jauh mengembara teringat kampung halaman, teringat rumah tempat berlindung. Terbayang Ibu, Ayah dan adik-adik yang ditinggalkan, saat seperti ini meneteslah air mata mengingat peruntungan badan. Sang Ayah hanya buruh Tani yang tak kuat lagi bekerja setelah hampir dua tahun sakit-sakitan, sedangkan Ibu buruh cuci yang bekerja mencuci pakaian orang. Bagaimana hendak mengharapkan kiriman. Bukan untung yang harus disesalkan tapi nasiblah yang harus diubah, sebab itu aku bertahan karena kepadaku harapan itu ditumpukan.Harapan yang tiada patut disia- siakan. Aku ingin menjadi Doktor. Semoga Dunia dan Hati Damai Bersalaman.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment