Pelit
Dompetnya tebal, hatinya tipis,
senyumnya kaku, tangannya licin.
Bicara soal rezeki bagai ustaz paling manis,
tapi sedekah seribu pun terasa bikin miskin.
Ia hitung tiap butir nasi,
sampai lupa ada lapar di sisi.
Katanya hemat demi masa depan,
padahal masa kini saja tak ada perhatian.
Pelit bukan soal uang semata,
tapi juga waktu, kasih, dan kata.
Tak pernah sapa tetangga sakit,
tapi rajin bahas harga emas naik.
Ada yang pelit memberi,
karena takut rezeki pergi.
Padahal tak sadar,
yang pergi justru hati-hati yang tadinya menanti.
Pelit bukan soal jumlah,
tapi soal jiwa yang seret memberi makna.
Karena hidup bukan sekadar menumpuk,
tapi mengalir—seperti air di sungai yang jujur.