ALA BISA KARENA BIASA

Oleh : Sahayu Surbakti*

Perkenalkan, nama saya Sahayu Surbakti, akrab disapa Ayu. Sejak SMP saya ingin menjadi Arsitek. Saya ingin membangun rumah pribadi  yang indah, nyaman dan layak huni untuk Ayah dan Ibu karena sejak dulu kami belum pernah memiliki rumah pribadi yang layak huni. Mulai dari luapan air yang masuk ke dapur, genteng yang bocor, dinding yang lembab, bahkan sampai rumah yang seperti kadang ayam pun kami pernah tempati. Sampai-sampai jika hujan, air sebatas mata kaki masuk ke rumah, karena memang rumah kami terdahulu tidak memiliki semen, langsung beralaskan tanah. Sedangkan ayah saat itu sedang sakit, yaitu sakit sesak napas. Yang saya ingat, Ayah tak pernah mengeluh. Beliau terlihat selalu berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

“Udah, Ayah enggak apa-apa, nanti juga sembuh. Ini karena udara dingin. Kalian tidur sana, besok sekolah.” itu yang selalu dikatakannya jika kami terlihat berjaga saat penyakit Ayah kambuh.

“Ayah ke dokter ya, kita ke rumah sakit.” Jika saya sudah melontarkan kalimat itu, Ayah akan menjawab, “Gak usah, ayah masih tahan,” katanya sambil menunjukkan alat semprot oksigen kecil. “… kalau udah enggak kuat mesti nanti Ayah bilang,” katanya dengan wajah pucat yang masih berusaha tersenyum. Maka saya bertekad harus bisa memberikan rumah yang baik untuk Ayah, Ibu dan keluarga lainnya.

Pengalaman paling berharga saat saya duduk di kelas X SMA. Dulu saya sekolah dengan beasiswa. Saat itu kondisi ekonomi kami sangat sulit. Paska penyakit Ayah sering kambuh dan Ayah berhenti bekerja, kamipun harus menumpang di rumah Nenek. Sampai pada saat saya harus mengambil suatu keputusan yang sangat sulit. Saya harus rela meninggalkan Medan dan berpindah ke kota Padang Sidempuan. Keluarga, teman, sekolah dan Ayah yang dalam kondisi sakit. Saat itu kami hanya mengharapkan gaji ibu dari mencuci pakaian ke rumah tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adik bungsu Ayah yang biasa kami sapa Pak Icu menawarkan bantuan untuk membawa saya tinggal bersama mereka dan membiayai semua kebutuhan hidup saya termasuk sekolah. Guru-guru di sekolah sudah melarang keras kepindahan saya,  namun akhirnya saya harus tetap pindah sekolah.

Penyesalan datang terlambat. Dari sekolah asal di Medan, saya dinyatakan naik ke kelas XI IPA sesuai pilihan saya. Tapi di sekolah baru, saya dimasukkan ke kelas XI IPS. Mereka mengatakan karena asal sekolah saya adalah SMA Swasta dan mereka takut saya tidak bisa mengikuti pelajaran IPA di sana. Saya sangat sedih. Belum lepas kesal saya meninggalkan semua, terutama ayah yang sakit, sekarang sirnalah cita-cita saya   untuk  menjadi   seorang arsitek.    Jika saya    masuk   jurusan IPS, sangat tidak mungkin     melanjutkan   ke Perguruan Tinggi jurusan Arsitektur sesuai cita-cita saya. Paman saya mencoba berbicara pada pihak sekolah, tapi mereka tetap pada keputusan mereka. Bahkan saya mengutarakan berani dites atau uji kelayakan untuk masuk jurusan IPA. Tapi hasilnya nol besar. Saya  harus menjalani jurusan yang bukan pilihan saya. Malam itu saya menangis di kamar. Saya terus memandangi foto Ayah, Ibu dan yang lain.

Tapi, memang hidup tidak bisa berhenti sampai di sini, perjalanan saya masih panjang. Saya bertekad untuk menunjukkan kepada pihak sekolah baru bahwa saya bisa. Tiga bulan berjalan dengan aman. Semua orang di lingkungan sekolah menyukai saya. Saat itu saya kerap dipilih menjadi sekretaris di kelas dan ketua saat ada pelajaran kerja kelompok, padahal saya belum mengenal mereka semua. Awalnya saya menolak karena hal itu, tapi semua mengatakan percaya kepada saya. Saya sangat senang. Saya pikir mungkin memang inilah jalan saya. Walau jujur saya belum bisa menemukan cita-cita lain selain Arsitek saat itu. Salah seorang teman saya berkata “Bagaimana jika kamu jadi konsultan saja, kamu kan jago Bahasa Jepang, nanti tamat SMA ambil jurusan Bahasa Jepang.” Saya mulai setuju karena saya sedikit bisa berbahasa Jepang sejak SMP di Medan. Saya mulai bisa beradaptasi disana. 

Tapi, kabar buruk datang dari Medan. Nenek saya meninggal dunia. Kami pun pulang ke Medan. Tapi, ketika hendak pulang kembali ke Padang Sidempuan, paman dan keluarga pergi tanpa memberitahu dan mengajak saya untuk kembali bersama mereka. Saya mencoba bertanya pada Ayah dan Ibu. “Mereka gak mau nampung Ayu lagi di sana. Nanti orang Pak Icu akan kirim surat pindah Ayu ke sekolah di Medan.”

Mendengar itu saya tidak tahu lagi harus berkata apa. Sedih, takut, marah, kecewa, kesal, merasa dipermainkan, diremehkan, disepelekan. Semua bercampur menjadi satu. Harapan saya putus. Saya takut dan kecewa. Saya harus sekolah kemana lagi? Apa sekolah lama saya masih mau menerima saya yang sudah  mengecewakan mereka? Menyia-nyiakan  beasiswa  yang  dulunya telah mereka berikan? Saya benar-benar malu. Hampir saya memutuskan untuk berhenti sekolah. Hingga akhirnya Kepala Sekolah SMA Sultan Iskandar Muda mengetahui kabar sekolah saya yang terancam putus. Saya diberi nasehat kembali ke sekolah YP. Sultan Iskandar Muda dan bergabung di beasiswa lagi. Alhamdulilah, sejak saat itu saya bertekad tidak akan pernah meninggalkan sekolah itu lagi. Apapun caranya, pengabdian saya harus ke sekolah Sultan Iskandar Muda itu. 

Tapi, lagi-lagi kenyataan dan cobaan berat datang. Setelah sekolah menerima saya kembali. SMA saya di Sidempuan tidak bisa mengeluarkan surat pindah untuk saya jika sekolah yang saya tuju adalah sekolah Sultan Iskandar Muda. alasannya karena sekolah tujuan pindah saya adalah sekolah Swasta. Lagi-lagi saya merasa itu semua adalah alas an konyol dan mungkin tidak pernah ada alas an seperti itu. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tidak mau putus sampai di sini, pasti Allah punya rencana lain utnuk saya. Beliau member saya dua jalan keluar. Pertama, saya bisa melanjutkan sekolah di bangku kelas XI, dan tentunya masih di jurusan IPS. Tapi harus masuk ke sekolah  Negeri agar surat pindah bisa keluar dari sekolah asal. Tapi mau bayar sekolah dari mana? Sedangkan pilihan kedua, dan menjadi pilihan yang akhirnya saya ambil. Saya mengulang kembali di kelas X SMA di Sultan Iskandar Muda dengan beasiswa tentunya. Dan saya bisa mengambil jurusan IPA di kelas XI nantinya. Sementara itu kondisi Ayah juga semakin buruk.

Uang sama sekali tidak ada. Bahkan untuk makan saat itu terkadang butuh bantuan orang lain. Beras sekilo hanya cukup untuk makan 2 hari. Itupun hanya ditemani lauk sambal dan garam saja. Kadang-kadang hanya nasi dengan garam plus rebusan air untuk kuahmya. Untuk membantu keluarga dan mengisi waktu luang saya sebelum kembali sekolah. Saya turut membantu Ibu dengan mengajar les anak-anak SD, gajinya saya berikan ke Ibu untuk kebutuhan rumah dan sebagian saya berikan ke Ayah untuk pegangan beliau jika beliau sekali-sekali ingin bergabung bersama temannya saat pulang dari Masjid. Air mata beliau yang tak pernah saya lihat kini jatuh, rasa haru dan senang bercampur sedih terukir di wajah Ayah saya tercinta. “Ayah bangga sama Ayu. Sama kalian. Bagus-bagus kalian ya, Nakku. Jaga kesehatan, pintar-pintar bawa diri. Ingat sekolahmu ya. Ingat orang-orang yang bantu kalian. Dan satu lagi, jangan benci sama Pak Icumu. Dia tetap adik Ayah. Kalau Ayah tidak ada tetap dialah wali kalian”.

Kalimat itu terasa seperti pesan terakhir Ayah. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata paman mengajak saya tinggal bersamanya kemarin karena permintaan dari almarhumah nenek, bukan karena keinginannya sendiri. Neneklah yang meminta tolong kepada paman agar membawa saya tinggal bersamanya dan dapat membantu perekonomian keluarga.  Ayah berpesan jangan pernah benci paman. Ayah sendiri tidak pernah benci dengan paman.

Saat saya sedang mengajar les, tiba-tiba saja seorang kakak sepupu perempuan saya, Timah datang dengan kereta menjemput saya di tempat les. Beliau mengatakan kalau penyakit Ayah kambuh tapi Ayah tidak mau ke rumah sakit kalau tidak dengan saya. Di perjalanan saya sempat ragu, apa alasan itu benar? Perasaan saya tidak enak, seperti ada yang aneh. Saya berfikir apa telah terjadi sesuatu pada Ayah? Kenapa saya sampai harus dijemput? Atau jangan-jangan Ayah… berulang kali saya mencoba menghapus pikiran buruk itu. Hingga di depan rumah, saya melihat banyak orang berkumpul. Tiba-tiba air mata saya jatuh begitu saja. Ayah yang tadi pagi masih saya lihat senyumannya duduk di samping jendela, Ayah yang semalam masih saya peluk dan saya rasakan hangat tubuhnya serta suara dengkurannya. Saya memeluk dan menatap wajahnya. Innalillahi Wa Innaillahi Rajiun. Saya menatap wajah pucatnya yang tersenyum. Allah lebih sayang pada Ayah jadi Dia membawa Ayah ke sisiNya, kini Ayah tidak merasakan sakit lagi. Disana Ayah akan lebih tenang. Selamat Jalan Ayah. Ayu sayang Ayah.

            Saya mengambil hikmah dari itu semua. Setahun kemudian saya kembali duduk di kelas X SMA. Saya selalu mendapat juara 1 saat SMA. Saat naik kelas XI, saya memilih jurusan IPA dan bergabung di Club Fisika SMA tersebut dan berkesempatan menjadi perwakilan sekolah dalam perlombaan Peneliti Belia dari Institut Yohannes Surya dan mendapat juara Harapan 1. Saya kerap menang di beberrapa perlombaan, seperti Lomba Presenter Bahasa Jepang dan mendapat juara Harapan 1 dari Lions Club Medan Garuda. Lalu Juara 1 Lomba Pidato Bahasa Jepang Piala Konjen Jepang, Juara 3 Lomba Taikai (Cerdas Cermat Bahasa Jepang) di Bunkasai USU 2013. Juara 1 Lomba Karya Tulis (Mengarang) Bahas Indonesia dan terpilih menjadi Sekretaris Osis SMA.

            Tekad saya untuk membalas 2 tahun saya yang tersia-siakan dahulu menjadi 2 tahun yang akan datang lebih baik lagi tercapai. Dan terakhir, harapan saya untuk menjadi Arsitek mudah-mudahan sebentar lagi akan tercapai. Semoga 2 tahun selanjutnya saya di Arsitektur USU berjalan dengan mulus. Karena cita-cita yang pernah hilang itu kini kembali lagi. Menjadi Arsitek, karena saya sekarang terpilih menjadi Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Walau nanti Ayah tidak bisa lagi menikmati kesuksesan dan menikmati rumah impian karya saya, tapi saya yakin, jika itu terjadi ayah akan tersenyum bahagia di sana melihat anak-anaknya sekses. Dan ayah telah mendapat rumah yang jauh lebih indah di sisiNya di sana. Harapan, impian juga cita-citaku kembali.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment