ANAK NEGARA PEJUANG ILMU

Oleh : Annisya Risky Siagian*

Dalam perjalanan kita meniti hidup. Setiap orang memiliki torehan di kertas kehidupannya. Annisya Risky Siagian anak dari keluarga sederhana di sebuah desa yang tiada terkenal. Bagi keluarga saya, pendidikan adalah modal hidup yang paling berharga, bukan harta, tahta ataupun kekuasaan. Sejak kecil saya dan dua saudara lainnya mulai diajari merangkai impian – impian besar hingga impian itu menembus jagat raya dunia.

            Obsesi itu semakin bergemuruh ketika telah duduk dibangku SMA. Sebuah  impian untuk meneruskan pendidikan di luar kota. Namun ketika ketetapan takdir berkata lain, tepat pada tanggal 23 Maret 2012 Ayah menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan saya, terdengar lirih Laa Ilaha Illallah…”. Ruangan rumah sakit itu seperti hampa, Ibu pingsan dan saat itu air mata ibarat air bah yang meluap dengan  derasnya. Aku telah kehilangan satu sayap untuk meraih semua impianku. Tidak ada lagi teman yang selalu memanjakanku, tidak ada lagi sosok yang menjadi guru setiap sisi waktu, sosok hero yang selalu kubanggakan telah pergi. Saat itu hanya menangis sedih, khawatir akan hidup yang harus bagaimana aku meneruskannya tanpa seorang Ayah.

            Sebagaimana wajarnya, detik, menit, jam, hari, bulan hingga tahun bergulir begitu cepatnya hingga tak terasa saat itu saya sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Teman-temanku telah menyibukkan diri dengan nama-nama universitas yang akan mereka tuju. Sedangkan saya, hanya mampu berkata dalam hati, biarlah tidak kuliah dari pada kuliah hanya menambah beban untuk Ibu yang kini menjadi tulang punggung satu-satunya di keluarga sejak Ayah meninggal. Kuliah hanyalah impian yang terlalu jauh untuk saya. Takut tidak punya biaya, sebab saya pikir kuliah itu hanya untuk orang kaya, walaupun dalam hati berontak, “ APAKAH ORANG MISKIN, ANAK YATIM TIDAK BOLEH BERSEKOLAH DAN MENJADI ORANG YANG SUKSES? “

            Namun lain sisi kehidupan, Ayah pun juga selalu mengajarkan anaknya untuk tidak pesimis dalam setiap cita-cita. Do’a, saat itu yang mampu saya lakukan. Membujuk rayu sang Pencipta untuk membuka dan memudahkan jalan untuk meraih cita­cita dan semua impian yang sudah saya rangkai bersama sosok tampan, arif dan penuh kasih sayang, ialah Ayah.

            Hari Rabu di bulan Maret 2013, saat itu saya ingat sekali. Hari itu merupakan hari terahir pendaftaran seleksi nasional masuk perguruan tinggi. Saya seperti diikuti bayangan untuk mendaftar diri setiap harinya. Hingga pada akhirnya seorang sahabat mengajak bahkan memaksa saya untuk mendaftar. Dikarenakan saya tidak memiliki laptop, maka kami berdua bergegas ke warnet yang berjarak satu kilometer dari rumah. Dengan berucap bismillah, saya pilih USU dan UNIMED. Untuk hasilnya saya tidak begitu berharap banyak.

            Hari yang ditunggu itupun tiba, pengumuman SNMPTN. Saat itu saya dan Ibu masih berada di kebun untuk menuai satu per satu biji kopi untuk menyambung hidup tanpa Ayah. Seorang teman kemudian menghubungi saya bahwa pengumuman telah ada. Dengan irama detak jantung yang begitu hebatnya, dan perasaan was-was, saya mengajak Ibu untuk pulang. Alhamdulillah, Maha baiknya ALLAH SWT, saya lulus di Universitas Sumatera Utara jurusan Akuntansi dan subhanallah lulus juga BIDIKMISI. Saya berlari secepat-cepatnya, “ Ibu! Nisa lulus!!!“ hanya itu yang mampu saya ucapkan. Ibu langsung memeluk saya dan berucap, “ Kuliahlah, Nak “. Sujud syukur pada-Mu Yaa Rabb. Semoga ini adalah berkah dari-Mu.

            Kuliah, saya pikir setelah itu tidak ada lagi cerita – cerita pilu yang menghampiri. April 2014 lalu, Ibu saya tiba – tiba jatuh sakit dan divonis terkena penyakit stroke. Saat itu ibarat beban luar biasa ditimpakan diatas ubun – ubun, kosong fikiran dan takut, hanya takut yang ada. Ibu diharuskan rawat inap di sebuah rumah sakit negeri di kota Medan. Tidak ada keluarga, tidak ada siapapun yang menemani untuk menjaga Ibu dirumah sakit. Saya takut dan sangat takut jika sampai terjadi sesuatu pada Ibu. Saat itu Ibu dirawat di ruangan Stroke Corner sehingga saya pun tidak bisa berada di samping Ibu. Saya sendirian dan tidur di teras rumah sakit bersama keluarga pasien lainnya. Apapun saya lakukan, asalkan Ibu bisa pulih, hanya itu tekad saya. Dan ketika dihadapkan dengan administrasi dan pembelian obat yang menurut saya sangat mahal, saat itu otak seperti dipaksa berfikir sejadi – jadinya. Saya periksa dompet hanya empat lembar uang Rp.50.000 yang ada. Sedangkan resep obat harus saya tebus sore itu juga untuk dipakai malam harinya. Terbersit difikiran saya, meminjam kepada teman adalah solusinya. Saat itu saya menghubungi teman, memaparkan maksud saya dan berjanji apabila uang BIDIKMISI keluar, Insya Allah saya akan melunasinya. Pekat sekali lisan ini berucap, karena jujur saya sangat malu untuk meminjam uang kepada orang lain, dan itu kali pertamanya saya lakukan. Untuk Ibu, apapun akan saya lakukan.

            Minggu pertama, minggu kedua hingga satu bulan, Ibu tak kunjung bisa dibawa pulang. Saat itu adalah jadwal ujian tengah semester, mandi, makan hingga belajar saya lakukan di teras rumah sakit tersebut. Dingin menusuk tulang, takut merajai diri, namun satu alasan saya melakukan itu, hanya untuk malaikat yang tak bersayap, seorang wanita mulia yang saya panggil Ibu. Bukan tiada lelah melewati hari – hari di rumah sakit sebulan lebih, melewati perjalanan dengan angkutan umum, sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit dari rumah sakit menuju kampus, begitu pun sebaliknya.

            Kembali kekuatan do’a, hanya itu yang saya mampu, sebab mengadu pada manusia pun, saya tak tau pada siapa. Saat itu benar – benar masa keterpurukan yang pernah saya dapatkan selama hidup. Sebab saya percaya, Allah tidak akan pernah meninggalkan seorang hamba-Nya meski dalam teriknya matahari hingga kelamnya sang malam. Saya mencoba kuat, mencoba dewasa. Di hadapan Ibu yang masih terkulai lemas, tidak ingin saya perlihatkan air mata yang sebenarnya menjadi teman setia selama Ibu di rumah sakit. Karena saya takut itu hanya menambah jumlah fikiran dalam diri beliau. Ibu sehat, kembali seperti dulu, itu saja. Tentang kuliah, saya pun sudah pasrah. Apabila harus berhenti, mungkin saya akan belajar ikhlas menerimanya.

            Hari bahagia itu kembali saya dapatkan, Ibu bisa pulang ke kost. Saat itu saya dan Ibu berdiskusi tentang apakah Ibu akan kembali ke kampung halaman atau tetap berada di kost. Namun, abang yang paling besar mengatakan Ibu sebaiknya dibawa pulang ke rumah saja, agar aku lebih fokus dalam berkuliah. Dan kembali lagi, uang, semua tentang uang. Saya bersyukur luar biasa, saat itu biaya bulanan dari negara alias BIDIKMISI sudah saya terima dan itu sepenuhnya saya gunakan untuk berobat Ibu di kampung.

            Saya hanya mampu menangis sejadi – jadinya dalam do’a ketika ketakutan tentang berhenti kuliah menghampiriku. Memikirkan bagaimana solusi untuk tetap bisa berkuliah. Untuk menghemat biaya kost, saat itu saya putuskan untuk tinggal di rumah seorang teman kuliah. Setiap harinya seusai pulang kuliah saya membantu Ibunya berjualan nasi dan makanan. Melayani pembeli, menyapu, mengepel, mencuci baju hingga mencuci piring sampai jam sebelas malam. Lelah kembali saya rasakan. Sedih, rasanya ingin berhenti saja. Tapi sosok Ayah yang mengajarkan untuk tidak menyerah, karena bagi beliau tidak ada putrinya yang cengeng. Selain itu sosok yang menjadi tanggung jawab, yang harus saya bahagiakan di masa senjanya kelak ialah Ibu. Dan yang paling penting ialah mengangkat derajat keluarga yang selalu dianggap rendah orang – orang dikampung. Jadi, alasan apalagi untuk saya berhenti kuliah? Tidak ada.

            Tubuh pun mulai melemah melewati rutinitas yang begitu padat, hingga akhirnya saya masuk rumah sakit. Saat itu terdiagnosa penyakit asma, dan juga merupakan keturunan dari Ayah. Meski banyak orang mengatakan itu karena keturunan, namun sedikit pun saya tidak pernah menyesal darah itu mengalir dalam diriku.

            Di masa kuliah tidak begitu banyak teman lelaki yang saya kenal, karena sejak dulu memang pemalu. Suatu ketika seorang teman lelaki mendekati saya dan berkata, “Nis, mau nanya. Uang bulanan kamu sebulan berapa?” ujarnya. Sontak saya menjawab “ Rp 300.000”. “Hah?! Saya aja 10x lipat dari itu bahkan masih merasa kurang. Bagaimana kamu membeli buku, sepatu baru, baju setiap bulannya dan jalan-jalannya?” tanyanya kembali dengan ekspresif. Dengan tenang saya menjawab, “Saya adalah anak seorang petani sederhana, anak dari negara dan untuk itu semua mungkin belum saya dapatkan sekarang, di masa kuliah. Karena saya sadar sekarang ini waktu saya hanyalah untuk kuliah. Mungkin, jika DIA berkehendak maka semua itu akan saya dapatkan, sesudah sukses, insyaALLAH. Dalam hidup kita cuma boleh melihat keatas itu hanya dua, yaitu agama dan ilmu. Sedangkan untuk kekayaan, maka tataplah ke bawah, agar engkau mampu bersyukur. Karena pada hakikatnya sebesar gunung pun emas yang dimiliki, manusia tidak akan pernah puas”

 “Mengapa engkau mampu sedewasa ini, Nis?” tanyanya kembali.

“Keadaan yang memaksaku untuk dewasa,” jawabku. Ia terdiam dan berlalu pergi.

            Sesudah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Itu saya alami di kehidupan yang fana ini. Alhamdulillah sampai cerita ini digoreskan dalam kertas putih kehidupan, saya masih berkuliah di Universitas Sumatera Utara, jurusan S1 Akuntansi. Ini tidak terlepas dari jaminan pendidikan bagi anak  bangsa Indonesia yang saya terima yaitu program BIDIKMISI yang membuka pintu gerbang sukses bagi anak bangsa yang mungkin bernasib sama dengan saya. BIDIKMISI memutus mata rantai kemiskinan di Indonesia. Hingga tidak ada alasan lagi untuk anak bangsa diseluruh pelosok negeri yang permai ini untuk tidak mengecam pendidikan. Sukseslah, sukseslah Annisya Risky Siagian.

            Dan sebagai anak bangsa yang telah dipelihara oleh negara, maka tentunya saya mempunyai tanggung jawab moril untuk negara ini. Membalas apa yang yang telah diberikan, walaupun hingga matahari terbit dari barat itu tidak akan mungkin. Namun, peran yang paling kecil yang dapat diambil adalah ikut menjadi bagian anak Indonesia yang berprestasi dan ikut mencerdaskan anak bangsa generasi muda lainnya.

Untukmu generasi muda, jalan ilmu tidak akan pernah ada ujungnya, ia tidak terbatas waktu,wilayah dan uang. Aku satu dari sekian banyak orang yang telah membuktikannya. Torehkanlah tinta – tinta emas prestasi karya anak bangsa, karena dengan ilmu Indonesia mampu menguasai dunia. Jangan pernah lelah untuk menuai ilmu setiap aspek kehidupan, karena apabila engkau menyerah maka engkau akan merasakan pahitnya kebodohan

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment