GIVE THANKS

Oleh : Evelin Silvana Carolina Sinaga*

Inilah aku. Seorang gadis yang sudah cukup umur untuk merantau dan memilih untuk melanjutkan kuliah dari pada bekerja. Seorang gadis dengan wajah dan rambut lusu, badan yang sangat tidak tinggi dan pakaian yang ala kadarnya, yang sudah siap untuk berpetualang ke negeri orang demi segenggam masa depan yang belum pasti bagaimana kabarnya, hingga tibalah waktuku menginjakkan kaki ke negeri yang tidak jauh dari asalku yang sebenarnya dan terdampar di sebuah kerajaan megah yang tak tertandingi di negeri itu, lebih tepatnya kerajaan beruang. Sebuah kerajaan dengan penjagaan yang ketat oleh seorang pengawal yang berbadan kekar. Sebuah kerajaan dengan begitu banyak dayang yang siap melayani. Selain dayang dan pengawal, aku juga tinggal bersama ayah beruang, ibu beruang, dan dua anak beruang. Sebenarnya, ada 3 anak beruang hanya saja anak beruang yang kedua juga merantau ke negeri sebelah barat disana. Kerajaan ini dipenuhi dengan berbagai makanan dan minuman yg begitu sedap dan menyegarkan jiwa. Yah, disinilah aku sekarang. Di kerajaan dengan segala sesuatu yang dimilikinya. Namun hati tetap saja tak bisa bohong. Aku lebih senang tinggal di kampung halamanku sendiri. Oh iya, aku hampir melupakannya. Sebut saja aku Ve. Yah, dua huruf pemberian ayah dan ibuku yang sudah lama pergi dan tak kembali.

“Ve, bisa bantuin ibu belikan garam?” tanya ibu dayang suatu hari.

“Sebentar, bu!” jawabku lekas sambil bersiap-siap untuk sekalian berangkat ke kampus.

“Ve, bantu kakak mencuci kain ya,” pinta anak dari ibu dayang di hari yang lain.

“Ve, coba kamu cicipin bagaimana rasa masakan ini? Sudah pas?”

“Ve, tolong charger handphone kakak ya. Tangan kakak kotor.”

“Ve, coba kirim sms ke abang yang jualan daging biar antar dagingnya sekarang.”

“Ve.. Ve.. Ve…”

Seperti itulah kehidupan kecil di kerajaan beruang. Sekalipun ada banyak dayang disana, tapi aku juga mempunyai bagian tersendiri untuk membantu mereka mengingat aku juga adalah pendatang yang sama di kerajaan itu. Ibu beruang adalah seorang dokter hewan yang cukup sibuk. Ia seorang pegawai negeri sipil di bagian kesehatan hewan sekaligus membuka praktik klinik untuk hewan di dekat kerajaan beruang. Daging — daging yang sering dipesan oleh ibu dayang dengan meminta bantuanku adalah daging untuk makanan doggy yang ada di kerajaan, tentu saja juga yang ada di klinik. Ini hanyalah sedikit gambaran tentang kondisi di kerajaan beruang yang super sibuk dengan sedikit istirahat setiap hari.

            Suatu kali, ketika aku sedang mengerjakan tugas kuliah sambil mendengarkan musik, ibu dayang masuk ke kamar dengan menutup pintu sedikit keras. Aku sengaja mengecilkan volume musik. Awalnya hanya suara ‘tut’ tombol handphone yang kedengaran, namun perlahan suara isakan tangis pun terdengar.

“Aku padahal yang lebih tua, tapi kenapa bisa dia membentak orang yang lebih tua?” tanyanya dalam isakan tangis.

Aku pun segera menyadari apa yang terjadi. Ini bukan masalah yang terjadi sekali atau dua kali, tapi sudah sangat sering. Yah, ayah beruang adalah orang yang sangat temperamen. Ketika ada pekerjaan yang kurang beres, dengan suara besarnya tanpa memandang usia, jenis kelamin, status, atau apapun akan segera memarahinya. Memang seperti itulah ayah beruang. Tapi di balik sifatnya dan suara besarnya, sebenarnya ia adalah orang yang cukup lembut dan bahkan sangat perhatian kepada semua orang. Ayah beruang bahkan pernah suatu kali bertanya kepada anak ibu dayang ketika melihat matanya yang sembab. Hanya saja sifat yang cepat darah tinggi itu belum dapat diatasinya. Dan aku, aku memilih untuk membiarkan ibu dayang menangis, melepaskan segala apa yang dirasakannya.

***

Sudah beberapa minggu ibu dayang tidak bekerja. Pekerjaan ibu dayang diambil alih oleh anaknya dan aku. Sedikit melelahkan di kerajaan tanpa ibu dayang yang biasanya mengatur pekerjaan di kerajaan. Rasa penasaran dalam diriku pun akhirnya tak terpendam lagi.

“Ibu kemana kak? Kenapa lama sekali tidak bekerja?”

“Iya, bapak sakit di rumah. Sekarang masih di rumah sakit, sudah berminggu-minggu.”

“Benarkah? Sakit apa?”

“Komplikasi. Stroke dan sakit gulanya. Ibu tidak bekerja lagi sepertinya, Ve.”

“Kenapa?”

“Bapak buta permanen karena sakit komplikasi itu. Jadi ibu yang jagain bapak.”

Bagai petir yang menyambar dalam hitungan mili sekon. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Padahal aku dan ibu dayang cukup dekat, tapi aku baru mengetahui masalah ini sekarang. Luapan kekecewaan pun mengalir dari dalam diriku.

***

“Ve, kakak mau cerita. Bulan depan kakak mau nikah. Lebih baik gimana bilangnya ya sama ibu beruang?”

“Iya? Serius kak? Sama marga apa? Hm, lebih baik sekarang saja kak, biar ada waktu untuk mencari pengganti yang mau kerja.”

“Benar juga ya. Ya sudah, nanti kakak sampaikan ke ibu beruang,” jawabnya sambil menceritakan dengan detail calon suaminya.

            Sudah dua minggu tanpa ibu dayang dan anaknya. Dan sudah dua minggu pula belum dapat pengganti untuk mengurusi kerajaan. Mau tidak mau, aku sebagai orang pendatang di kerajaan harus mengambil alih. Ya, aku bersama ibu beruang bekerja sama untuk mengurusinya di tengah-tengah kesibukan di pekerjaan maupun perkuliahan. Bahkan pernah suatu kali aku kelelahan dan kehilangan fokus untuk belajar di kampus karena tidak baik dalam membagi waktu. Tapi mengeluh? Tentu saja sangat bisa ku lakukan. Tapi aku tidak memilih itu. Hidup dengan keluhan-keluhan akan sia-sia. Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku benar-benar bersyukur dari hati terdalam. Bersyukur bisa disini, di kerajaan ini. Bertemu dengan ibu dayang, anaknya, dan orang-orang lain. Bersyukur menjalani hidup walaupun lelah tak karuan. Bersyukur untuk tidak mengeluh tapi tetap semangat dalam mengerjakan apa yang seharusnya ku kerjakan. Aku bersyukur untuk banyak hal yang ku pelajari dari orang-orang yang ku temui dalam hidupku. Bersyukur, hanya bersyukur. Tak ada yang lebih indah dari itu.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment