KARENA

Oleh : Gita Nadia Putri Boru Tanjung

Sebenarnya sungguh aku berberat hati menceritakan kisah hidupku yang tak seberapa ini, sungguh ini bukanlah sebuah sebuah kisah yang menarik untuk dibaca. Ya, apa yang menarik dari kisah seorang anak muda yang masih menginjak umur 19 tahun?  Sungguh kisahku tak semenyedihkan orang-orang pinggiran yang mati kelaparan di jalanan, sungguh…. kisahku tak semenyedihkan para TKI yang disiksa sepanjang hari lalu dibunuh, dan sungguh…. kisahku tak semenyedihkan nasib para buruh, petani, dan nelayan yang terlunta-lunta, miskin, dan buta arah. Namun, mempunyai suatu kesamaan, kesamaan  hidup dengan sejuta angan-angan akan suatu kedamaian, kedamaian yang sulit terjangkau namun bisa dibayangkan dengan logika otak yang tak seberapa.

Siang hari 1 Juli 1996, aku lahir dengan sejuta harapan yang menghasilkan setumpuk kekecewaan. Ya, semua menunggu dan berharap anak ketiga itu musti seorang lelaki gagah dan tampan karena anak pertama dan kedua itu adalah perempuan yang cantik nan mempesona. Namun yang terlihat adalah seorang anak perempuan yang berkulit hitam dengan rambut ikal tak beraturan, sungguh harapan dan kenyataan yang sama sekali berbeda.       Namun bukan itu inti dari kisah hidupku yang ingin kuceritakan, melainkan tentang kata-kata sederhana yang mempunyai makna ganda pada setiap kata sambungnya, kata-kata sederhana yang sering diucap sembarangan. Kata-kata sederhana yang dapat mengubah pola pikir seorang anak kecil. Kuingat sejak kecil ibuku sudah mengenalkan kata-kata itu padaku “Karena”, “Karena kau bodoh maka kau harus pintar, karena kau jelek maka kau harus cantik, karena kau miskin maka kau harus kaya, karena ada kekurangan maka ada kelebihan”.

Waktu itu masih kuingat kami menyewa sebuah rumah berlantai dua di pinggir pasar dengan berjualan keranjang bambu, hidup kami dengan berjualan keranjang bisa dibilang lebih dari cukup karena pada masa itu semua petani yang sudah memanen tanaman akan menggunakan keranjang bambu untuk mengemas tomat, jeruk dan lainnya. Jadi bisa dibilang keranjang bambu menjadi kebutuhan pokok petani yang selalu dibutuhkan. Karena alasan itulah uang terus mengalir pada kami. Masih kuingat waktu itu segala kebutuhanku terpenuhi. Kuingat juga saudara-saudaraku banyak yang sering berkunjung sekedar bertemu kami dan mengajak kami berjalan-jalan sungguh masa-masa yang damai. Namun  kedamaian itu seketika berakhir dengan perginya kami dari rumah itu dikarenakan pemiliknya ingin memakainya untuk berdagang. Kamipun akhirnya harus pindah ke rumah nenek, sungguh hidup yang 100% berlawanan. Kami tinggal di rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar dengan 7 orang penghuninya yaitu ayah, ibu, kedua kakak, dan kedua adikku. Kami jalani hidup yang benar-benar menyebalkan, mulai dari pagi hari kami pergi ke sawah dengan berjalan kaki beberapa kilometer dari rumah untuk mandi, mencuci dan mengambil air. Dengan telanjang kaki kujalani jalanan becek itu setiap pagi dan sore demi memenuhi kebutuhan air kami setiap harinya, dan makan seadanya. Sering kali kuingat kami hanya makan dengan nasi kecap, ikan asin, atau sayur daun parit rebus yang diambil dari sawah. Kuingat juga entah berapa kali aku dan adik-adikku merasa iri melihat anak-anak lain yang dapat makan apapun yang mereka mau, memakai pakaian yang bagus, bertamasya kemana pun yang mereka mau. Karena kami masih anak-anak maka kami hanya bisa menonton dan menatap, entah kenapa di umur yang begitu muda kami harus bersikap dewasa. Ya…. keadaan yang memaksa kami harus bersifat dewasa sebelum waktunya.

Tapi bukan itu masalah yang sebenarnya, yang sampai sekarang masih menyisakan luka di hatiku yaitu segala penghinaan yang kami terima hanya karena kami miskin dan tak punya uang, hanya karena kami tak punya baju bagus buat dipakai bermain, hanya karena kami tak punya uang untuk membeli makanan enak. Saat itu aku selalu bertanya dalam hati, kenapa kemiskinan mengurangi penghargaan kepada seseorang?  Dan saat itu aku juga sadar uang dapat mengubah karakter seseorang mencapai 100%. Terheran-heran aku ketika menyaksikan keluarga dan orang-orang yang dulunya sangat baik dan ramah kini berubah menjadi tokoh utama yang menciptakan luka yang mendalam di hatiku yang hingga saat ini sangat sulit kulupakan. Waktu itu salah seorang keluargaku yang dulunya sangat baik pada kami membeli buah pepaya yang besar dan membagi-bagikannya ke tetangga dekat rumahnya dan pada saat yang bersamaan adik lelaki ku yang paling kecil lewat dari depan rumahnya dan terjadilah hal yang membuat ibuku marah dan kecewa,  karena pada saat itu adik kecilku itu dengan polosnya pulang ke rumah sambil memegang pepaya yang nyaris hanya kulitnya saja  dan memakannya. Sungguh tak pernah kulupakan raut wajah ibuku yang saat itu merah padam merampas pepaya itu dari tangan adikku dan seketika mencampakkannya ke tanah.  Sekejap terpikir dalam benakku apalah kesalahan seorang anak kecil sehingga dia tega melakukan hal itu, mungkin kemiskinan dianggap menjadi suatu kesalahan tapi bagaimana bisa orang dewasa seperti dia sanggup melakukan hal itu pada seorang anak kecil yang tidak berdosa, namun bukan hanya itu saja luka yang dia ciptakan sungguh banyak bagai gunung es yang menumpuk dan membeku sungguh sulit untuk dicairkan.

Waktu itu masih kuingat bagaimana raut wajahnya yang penuh dengan kemunafikan itu bersenang-senang diatas penderitaan kami, bagaimana dia melempar sampah jagung ke kaki adikku, bagaimana dia meremehkan kakakku yang pada saat itu sedang berusaha masuk SMP favorit, bagaimana dia mengabaikan kami sedangkan peduli penuh dengan orang lain, bagaimana dia menuduhku pencuri saat aku meminta sesuatu padanya, padahal seingatku dulu ayahku sangat baik pada mereka bagaimana bisa uang mengubah kepribadian seseorang? Namun, ibuku selalu mengajarkan kami untuk terus bersabar, tetap baik dan jangan membenci mereka, entahlah… Bagaimana bisa aku tidak membencinya dengan segala balasan yang telah diperbuatnya? Tapi kata ibuku biarlah Tuhan yang membalas segalanya. Tapi entahlah, saat itu Tuhan terlalu abstrak bagiku. Dulu sering kali aku menyalahkan Tuhan atas keadaan yang menimpa kami. Kupikir bagaimana bisa Tuhan biarkan kami mengalami hal seperti ini? Begitu banyakkah dosa yang sudah kami perbuat? Apakah Tuhan juga membenci kami? Atau ini hukuman dari Tuhan?. Entahlah… segala sesuatu menjadi sangat abstrak bagiku.

Bertahun-tahun kami lalui dengan segala macam jenis angin yang mencoba mengendurkan semangat kami, namun tak ada kata menyerah untuk ayah dan ibuku, tak pernah kulihat wajah patah semangat untuk tetap bekerja keras demi menyekolahkan kami kelima anaknya, kata ayah dan ibuku kami tak boleh hidup seperti mereka, kami harus hidup dengan baik. Berkat kerja keras dan ayah dan ibuku hingga saat ini kami dapat bersekolah. Kakak pertamaku berhasil menduduki kursi perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, begitu juga dengan kakak keduaku dengan jurusan pariwisata perhotelan FIB USU dan aku yang ketiga dapat lulus dengan baik dan mendapat beasiswa BIDIKMISI di Fisip USU Program studi Ilmu Politik. Sungguh anugerah yang luar biasa bagiku, apalagi setelah kulihat banyak orang-orang yang seperti aku disini, bahkan yang kusebut penderitaan selama ini bukanlah apa-apa bagi mereka yang kisah hidupnya jauh lebih menyakitkan dan juga kusadari betapa berdosanya aku menyalahkan Tuhan akan keadaanku, sedangkan disini banyak yang lebih menyedihkan dari pada aku. Betapa berdosanya aku yang dulu sering mengeluh pada hidupku, dan betapa berdosanya aku yang menanam kebencian dan dendam pada orang-orang yang merendahkan kami. Sungguh kalau bukan karena hinaan yang mereka berikan mungkin aku tak bisa disini, mereka hanyalah perantara yang diberikan Tuhan agar aku menjadi anak yang kuat, tegar dan tidak cengeng. Kini aku mengerti karena pasti akan semakin banyak lagi ke depannya masalah yang akan datang padaku dan agar aku dapat melewatinya dengan baik Tuhan membentuk diriku menjadi anak yang kuat.

Aku teringat dengan kata “karena” yang selalu diucapkan ibuku, “Karena kau miskin maka kau harus kaya, karena kau jelek maka kau harus bisa cantik, karena kau bodoh maka kau harus berusaha jadi pintar, karena orang itu jahat maka kau harus menjadi baik karena itulah yang membuatmu berbeda dengannya”.

Karena. Sungguh kata-kata sederhana yang mempunyai makna ambigu bagi setiap kata sambungnya. Namun kata ini digunakan oleh orang-orang seperti kami, oleh orang-orang yang berani-beraninya mencoba menanam mimpi dilahan tandus tanpa air ataupun pupuk. Sungguh betapa kurangajarlah orang seperti kami yang berani-beraninya melawan arus air yang kata orang harus kami lewati. Biarlah. Karena kami adalah kaktus yang bisa bertahan hidup di gurun pasir tanpa air dan pupuk. Ya. Bukanlah suatu kebetulan kami tumbuh di gurun, tapi karena kami istimewa tak semua tumbuhan mampu bertahan hidup di gurun. Ya, karena kami tumbuhan yang kuat. Jika kami ikan, maka kami bukanlah ikan lemah yang selalu mengikuti arus kemiskinan yang terselubung dan sembunyi di balik bebatuan, tapi kami ikan kecil yang berani melawan arus kemiskinan yang selalu mengelilingi kami, tapi ketahuilah kawan, tak semua ikan mampu melawan arus ikan yang mampu melawan arus adalah ikan yang terbiasa hidup di arus yang deras. Akan semakin banyak angin menerpa, akan masih banyak ombak yang menggulung, akan masih banyak petir yang menyambar dan akan semakin banyak kekuatan untuk bertahan.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015

Leave a Comment