KUTITI JALAN MIMPI

Oleh : Ahmad Zubeir Rangkuti

Tiiit..tiit..tiit.. bunyi ponsel usang yang kuletakkan di persegian jendela kaca, kulirik jam yang terletak rapi di dinding rumah, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 01.17 WIB. Aku yang sedang berbaring menulis buku diary di ruang tamu, karena merasa heran dan khawatir kucoba menghampirinya. Kulihat ada pesan masuk dari Mr Jamal, guru bahasa inggrisku.

“Ass… Zuber dah ngeliat pengumuman SNMPTN?” tanyanya.

“Wass… Belum Mister, kan besok pengumumannya”. dengan degupan jantungku yang     semakin kencang kujawab pesan itu.

Pengumuman SNMPTN adalah momen yang kutunggu berbulan-bulan setelah kelulusanku dari SMA, karena ini merupakan gerbang dari mimpi-mimpi indah yang kurajut selama ini.

“Hari ini pengumumannya, kawan-kawanmu dah pada ngeliat, tapi belum ada yang lulus. Coba kirim nomor pendaftaran dan tanggal lahirmu, biar di cek sama anak Mr yang di Medan” jawabnya.

“Ok, ini dia Mr” jawabku singkat. Dug…dug.dug..bunyi degupan jantungku semakin kencang saja, dicampur rasa gelisah dalam hati apakah aku akan lulus atau tidak.

“Yaa Allah luluskan aku, luluskan aku, atau…gimana kalau tiba-tiba akunggak lulus ya?,Ya Allah ini pilihan matiku, luluskan aku” bisikan hatiku kini bercampur aduk. Kucoba melanjutkan kembali kalimat yang terpotong di diaryku yang berwarna hijau tua itu.Kira-kira 7 menit kemudian dering teleponku bergetar di tengah malam yang sunyi itu, dengan nada spring field kucoba menghampiri dan mengangkatnya. Iya, ternyata benar dugaanku, Mr Jamal calling.

“Halo, Assalamualaikum”. Salam Mr Jamal.

Waalaikumsalam Mr” kujawab salam itu.

“Halo, halo, halo, assalamualaikum Zuber, assalamualaikum “.

Waalaikumsalam Mr”, dengan nada yang lumayan tinggi kujawab salam dari telepon itu. Mungkin suaraku kurang jelas di sound Hp Mr, maklum aku tinggal di pedalaman yang jauh dari pusat kota, sehingga jaringan telepon masih sangat minim, sebagai solusi biasanya orang-orang di desaku akan mencari tempat-tempat tertentu untuk bisa menelepon, begitu juga dengan aku di tengah malam yang sunyi ini. Rasa ingin tahu, gelisah, harap, cemas, bercampur aduk dalam hati ketika akan mendengarkan hasil pengumuman SNMPTN. Yang aku tahu, aku tidak akan bisa kuliah kalau tidak lulus SNMPTN dan BidikMisi.

Lumayan panjang percakapan kami ditengah malam itu bersama Mr jamal, hingga akhirnya dengan nada sedih Mr mengatakan, “ Sabar ya Zuber”…, ku elus dadaku sambil menghirup napas dalam-dalam, mencoba untuk berlapang dada dengan hasil yang akan aku terima, meski berharap bisa lulus menikmati perkuliahan layaknya anak-anak orang kaya.

“Sabar ya Zuber…” kemudian perlahan mengeraskan suaranya,…”kamu lulus SNMPTN Universitas Sumatera Utara Jurusan Akuntansi tahun 2013….”,

Alhamdulillah ya Allah”. Rasa syukur yang luar biasa kuungkapkan atas kelulusan ini, merasa tak percaya, haru, merasa bersalah atas prasangka, aku benar-benar Speechless hingga tak bisa lagi kujawab telepon dari Mr itu. Kuungkapakan rasa terimakasih pada Mr yang telah memberitahu kelulusanku dan segera aku lari ke rumah dan sujud syukur, air mataku tumpah di atas lantai papan yang dilapisi karpet plastik ruang tamu rumah sederhanaku ini. Esok harinya, kuberitahukan pada ayah dan mamak atas kelulusan ini, kulihat ada senyuman di bibir mamak, sedangkan ayah hanya diam saja dan sepertinya ayah gelisah. Padahal selama ini ayah telah mendoakanku agar bisa lulus USU di sujud-sujud sepertiga malamya dengan menangis, terkadang aku terbangun dan aku mendengar doa-doanya ayah tentangku, aku sering menangis mendengar doa-doa itu.

Beberapa hari sebelum keberangkatanku ke kota Medan ayah berkata kepadaku di depan mama seusai aku pulang melaksanakan sholat maghrib berjamaah dari Masjid.

“Beir, kamu melihat kalau kita bukan orang mampu nak, cari makan saja susah, adikmu dua orang lagi yang sekolah, ayah dan mama sudah tua, sering sakit-sakit nak, ayah tak sanggup menguliahkanmu nak, maklum lah nak dengan kondisi”, dengan menangis ayah mengungkapkan kata-kata itu.

Rasanya seperti gemuruh di siang hari mendengar kata-kata itu, impian indah yang kurajut selama ini tiba-tiba hanyut satu demi satu seiring derasnya sungai di desaku, dan sepertinya akan meninggalkanku untuk selamanya. Aku hanya bisa diam, sedih, mendengar iringan tangisan dari kalimat yang ayah ungkapkan, baru kali ini aku mendengarnya menangis, dan itu karena aku. Yang aku tahu ayah adalah petani yang kuat, pekerja keras, bahkan dalam satu minggu penuh ayah selalu pergi menyadap karet dan mengambil kayu manis walau harus menjadi buruh orang lain demi untuk membiayai hidup keluarga. Aku langsung menuju kamar, kututup pintu rapat-rapat, berbaring, mencoba pasrah dengan keadaan. Tidak lama kemudian, sayup-sayup kudengar azan sholat isya, kulaksanakan ia dengan benar-benar khusyuk dan menyerahkan diri pada sang khalik, di sujud terakhir aku berdoa dan mengungkapkan semua isi hati, menangis sejadi-jadinya, dan memohon solusi atas kondisi kurang menguntungkan yang menimpaku, benar-benar kuserahkan diri padaNya. Esok harinya aku minta izin kepada mamak untuk menjumpai ustad Engran di sekolah, beliau adalah kepala sekolah sekaligus guru biologi favoritku. Beliau banyak memotivasi kami agar kuliah semasa SMP dan SMA, aku banyak mendapat inspirasi darinya. Berbekalkan uang duapuluh ribu rupiah yang di berikan oleh mamak, dan hanya cukup untuk ongkos, aku menjumpai beliau ke sekolah. Kusalam dan kucium tangannya, tak terasa air matakupun bercucuran menuju lantai teras rumah dinasnya, beliau menatap ke arah mataku yang di lapisi kacamata bergagang coklat, ini adalah pemberian dari hasil uang yang disumbangkan oleh ustad-ustadzahku di sekolah saat kelas sepuluh, karena waktu itu aku sering dilihat oleh guru-guru keluar dari kelas saat proses belajar-mengajar berlangsung, aku sering sakit mata dan kepala karena kaca mataku tidak sesuai lagi dengan minus kaca mata yang aku pakai.

 Kami duduk di kursi teras, tanpa berbasa-basi aku langsung bercerita tentang kondisi kekurangberuntungan yang menimpaku. Masalahnya adalah uang, uang, dan uang. Beliau sepertinya sangat paham dengan masalah yang aku hadapi, ditengah perbincangan kami, beliau menghubungi beberapa orang melalui hp warna coklat miliknya. Alhasil keajaiban yang luar biasa bagiku ketika beliau bersama teman-temannya mau menanggung biaya-biayaku di awal kuliah ini.

Alhamdulillah dengan bantuan ustad Engran, teman-temannya, dan bermodalkan uang pinjaman, serta hasil jual kayu manis dari ayah, akhirnya aku bisa berangkat ke kota Medan untuk melanjutkan studiku. Aku cium tangan ayah dan mamak serta bude Arpah pada saat gerimis sore itu. Sepertinya langit ikut haru dengan keberangkatanku untuk menuntut ilmu ke ibu kota.

 “Yah, mak, bude, doakan aku menjadi direktur Bank sumut”, ucapku sambil bercucuran air mata.

Setelah 14 jam berlalu, aku pun sampai di kota Medan dengan selamat dan asa yang meninggi. Bang Abdul adalah orang yang akan aku temui, aku akan menumpang di kosnya untuk sementara waktu. Beliau adalah alumni sekolahku yang kini sedang menempuh pendidikan diploma di Universitas Sumatera Utara, kampus yang kuimpikan selama ini dan kini aku akan belajar disitu.

Kulihat beragam buku tersusun rapi di atas meja belajar serta barang-barang lainnya juga yang tersusun rapi di dalam kamarnya. Didalam kamar terasa panas, sempit, dan banyak nyamuk ketika malam hari tiba. Kami tidur bertiga didalam kamar mungil ini, sehingga kaki kami harus dibengkokkan karena tidak muat ketika tidur. Rasanya tak nyaman di kamar ini, sudah kecil, panas lagi, sehingga kami tidak bisa nyaman untuk membaca buku atau walau hanya sekedar tidur-tiduran, tapi aku sadar walau diri ini menumpang dan belum tahu sampai kapan karena ketiadaaan biaya untuk menyewa kos. Mungkin ini juga yang dirasakan bang Abdul sehingga beliau mengajak kami pindah ke rumah kontrakan di sebuahperumahan.

Tak terasa uang disakuku semakin menipis walau masih beberapa hari di kota Medan. Rasa khawatir juga mulai muncul didalam hati ketika bang Abdul mengajak kami tinggal di perumahan tersebut, karena kami harus membayar uang jutaan rupiah untuk bisa tinggal dirumah tersebut.

”Aku tidak punya uang sebanyak itu, begitu juga dengan orang tuaku, syukur-syukur sekarang biaya SPP kuliahku gratis karena aku mendapat beasiswa BidikMisi”. Ucap hatiku.

Tapi karena perasaan tak enak ke bang Abdul aku mencoba menghubungi mamak dikampung.

“ Mak, Beir lagi butuh uang kos sebanyak….” Ucapku.

“ Sabar ya nak, untuk saat ini kita belum ada uang, mungkin bulan depan akan dikirim setelah mengambil hasil sadapan karet, itupun seadanya nak,” jawab mama singkat.

Aku hanya bisa bilang ke bang Abdul kalau orang tua belum punya uang untuk membayar sewa kos, alhamdulillah beliau mengizinkan aku tinggal dirumah ini. Rasanya kurang nyaman walau harus membebani beliau ketika aku harusmenumpang di rumah ini, tapi apa daya orang tua tidak memiliki uang. Aku hanya bisa berdoa agar segera bisa membayar sewa kos dan berharap beasiswa bidikmisiku cepat cairnya.

Hari berganti menjadi minggu, minggu ke bulan, aku mulai merasakan kerasnya hidup di ibu kota. Dengan uang yang minim kiriman dari orang tua aku mencoba bisa bertahan hidup untuk bisa menggapai impianku, walau uang yang dikirim mereka beberapa hari saja sudah habis karena desakan kebutuhan hidup sehari-hari dan perkuliahan. Tidak makan saat berangkat ke kampus, tidak makan seharian atau hanya makan mie instan agar bisa tidur di malam hari, jalan kaki ke kampus kira-kira 2 km jaraknya, dan saat pulang harus merasakan teriknya matahari membakar tubuh saat di jalan, bukan tidak sering aku sakit kepala karenanya, buku yang tidak terbeli, pakaian yang itu-itu saja ke kampus yang kadang membuatku tidak pede dengan kawan-kawan, uang kos yang belum terbayar, dituduh merusak barang kawan karena pernah meminjamnya, adalah sebagian dari penderitaan hidup yang aku alami. Ketika  memasak mie instan aku sengaja melamakannya agar mienya mengembang sehingga kelihatan lebih banyak dan mengenyangkan. Karena tidak mampu membeli buku, aku harus rajin meringkas buku-buku yang aku pinjam di perpustakaan dan terkadang meminjam buku kawan, karena uang sewa kos yang belum terbayar aku hanya bisa bilang ke bang Abdul sebagai jaminannya adalah beasiswa bidikmisiku yang belum tahu kapan cairnya, jikalau uangku sudah habis aku sering berhutang ke sepupuku yang sedang menempuh pendidikan diploma di Polmed, kadang kalau dia tidak punya uang, aku meminjam kepada warga perumahan yang aku kenal walau hanya bermodalkan sok kenal sok dekat, tapi alhamdulillah di kasih. Aku tetap nekad dengan impianku, aku hanya bisa senyum dengan semua keadaan ini berharap akan ada cahaya cerah di esok hari. Aku sering menangis dengan keadaan yang menimpaku jikala sendirian. Iya, masalahnya adalah uang, uang, dan uang. Entah sampai kapan masalah ini berakhir.

Setelah dua bulan kuliah, uang kiriman dari kampungpun tiada lagi, mama bilang ayah tidak sanggup lagi menguliahkanku, karena akhir-akhir ini ayah sering sakit-sakitan, juga harga karet yang murah membuat ancaman kelangsungan hidup bagi keluarga, bahkan kepada hampir seluruh warga di kampungku.

“InsyaAllah mamak akan berusaha mengirim uang ke Beir ketika mama ada uang kelak, sabar ya nak, banyak-banyak berdoa” Kata mamak saat aku di telepon sore itu”.

Bak halilintar di siang hari, rasanya beban di kepalaku semakin berat saja, otakku langsung terkuras berfikir setelah mamak bilang kalo mereka tak sanggup lagi menguliahkanku.

kemana harus mencari uang? “Aku masih  mahasiswa semester satu dan baru dua bulan kuliah, kenalanku masih sedikit, bahkan aku belum mengerti dengan seluk-beluk kota Medan. Ya Allah aku tetap ingin kuliah” ucapku dalam hati.

Aku terdiam lama setelah telepon itu berakhir, aku mencoba untuk tetap tegar mengahadapi realita hidup yang aku alami. Belum lagi rumah tempat kami tinggal akan direnovasi, jadi masing-masing dari kami harus mencari kos-kosan sebagai tempat tinggal sementara selama dua bulan lamanya, tentunya aku akan membutuhkan uang untuk bisa ngekos ditempat kawan walau hanya sementara.

“jangankan uang kos di tempat kawan, uang kos ku dirumah ini saja belum terbayar”. gumamku dalam hati.

Sekarang cuma satu harapanku agar beasiswa BIDIKMISI cepat keluar, ya meski kata senior penerima BIDIKMISI, uang itu akan cair kira-kira satu bulan lagi. Penantian yang panjang, tapi aku harus sabar, itu adalah harapanku satu-satunya. Waktu terus berjalan, rutinitasku tetap berjalan seperti biasanya. Meskipun kepahitan hidup itu semakin menjadi-jadi saja, aku tetap yakin dengan impianku, hampir setiap malam sebelum tidur aku selalu menuliskan impian dan kisah hidupku di buku diary, itulah yang menjadi sahabat sejatiku selama ini. Impian jangka pendekku diantaranya : mendapatkan IP 4,00, tinggal ditempat yang gratis, memiliki penghasilan sembilan ratus ribu rupiah per bulan, menginjakkan kaki di pulau Jawa dengan gratis karena prestasi, mempunyai android agar tidak ketinggalan informasi, laptop, serta motor Beat warna putih, agar lebih nyaman belajar, karena bakalan tidak basah kuyup lagi ketika nyampek di kampus karena harus jalan kaki sepanjang 2 km, serta lebih pede karena bisa beradaptasi dengan kawan-kawan di fakultas ekonomi, dan masih banyak lagi.

Masjid di perumahan tempat aku tinggal adalah salah satu tempat favoritku selama ini, pada sore hari aku sering duduk-duduk di teras masjid untuk belajar, mengulang hafalan, atau bahkan hanya sekedar menulis diary sambil menikmati udara segar, angin sepoy-sepoy, dan bentangan pemandangan hijau sawah yang luas di depan masjid itu, jarang ada pemandangan sawah seperti ini di kota Medan. Pada suatu sore ketika aku duduk-duduk di teras masjid, seseorang menghampiriku, Bg Ridho namanya. Kami berkenalan, hingga pada akhirnya dia menceritakan pahit manis perjalanan hidupnya. Aku menjadi pendengar yang baik, tak sengaja terucap pada mulutku tentang sebagian kepahitan hidup yang aku alami, bahkan aku sempat berkata kalau aku sedang mencari kos-kosan karena rumah tempat kami tinggal akan di renovasi minggu ini,

“Abang punya teman gak yang bisa aku tumpangi rumahnya sementara? Tanyaku.

“Berapa lama dek? Dia juga menanyaku.

“Kira-kira dua bulanan lha bang”, jawabku.

“Lama ya”, jawabnya.

Dia kelihatannya sedang berfikir, mengingat kawan-kawanya barangkali. “Mmm…gimana kalau kamu tinggal disini aja dulu, soalnya kawannya abang yang biasa disini udah pindah ke musholla di fakultasnya, jadi abang sedang mencari kawan untuk tinggal disini.” Dia menawarkan aku. Tanpa berfikir panjang aku mengiyakan tinggal di masjid untuk sementara. Dua hari kemudian aku mengangkati barang-barangku ke masjid, tempat tinggalku sementara. Tugasku disini adalah sekedar membantu bang Ridho dan bang Aprial (kawannya bang Ridho tinggal di masjid) untuk membersihkan masjid seperti menyapu dan mengepel lantai, menyapu halaman, dan azan dikala waktu sholat telah tiba. Sekarang aku tinggal di kamar tempat azan masjid bersama bang Ridho, di kamar berukuran 5×3 inilah tempatku menyambung hidup untuk sementara waktu, melaksanakan rutinitas seperti biasanya. Walau awalnya kurang nyaman, karena pada malam hari kami akan tidur beralaskan sisa potongan sajadah masjid, banyak nyamuk mengerumuni tubuh kurusku, dan aku sulit tertidur karena semakin lelah, biasanya agar bisa tidur aku akan mengoleskan balsem miliknya bang Ridho ke sekitar lutut dan kakiku.

“Aku yakin seiring barjalannya waktu aku akan terbiasa dengan hidup seperti ini” bisikku dalam hati.

Beberapa hari di masjid ini ternyata membuatku merasa semakin nyaman dan lebih tenang dari pada di rumah kontrakan kami yang sedang direnovasi, terfikir dibenakku untuk bisa tinggal di masjid ini bukan hanya dua bulan atau bahkan walaupun rumah kontrakan kami sudah selesai direnovasi. Beberapa hari kemudian kami berbincang panjang lebar dengan bang Aprial. Banyak inspirasi hidup yang aku dapat dari obrolan itu. Dia juga bilang kalau kenaziran masjid sedang mencari orang untuk menjadi kawan mereka.

“ Zuber, kamu ada kawan yang mau tinggal di masjid ini? kami sedang mencari kawan ni ” tanyanya. “Mmm…” gumamku.

Dengan nada rendah aku menawarkan diri. “Aku merasa nyaman disini bang, aku mau tinggal disini.” Jawabku.

“Iya disini memang nyaman, dapat tempat tinggal gratis, air dan listrik gak bayar, tapi harus banyak-banyak sabar, kerjakan aja tugas di masjid ini dengan ikhlas InsyaAllah rezeki juga nanti akan lebih baik”, Hehe.. abang tu tertawa.

Aku hanya senyum melihat tingkah abang tu, aku tidak mengerti apa yang sedang ditertawakannya.

“Nanti abang bakalan bilang ke ketua BKM kalau Zuber mau tinggal disini” tegasnya.

Setelah aku resmi tinggal di masjid Ar-Ridha, aku merasakan kenyamanan, ketenangan, meski harus lelah karena tambahan rutinitasku, seperti menyapu dan mengepel lantai masjid, menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, dan azan. Meskipun begitu aku sangat bersyukur karena sudah bisa mandiri meski orang tua tidak mengirim uang lagi walau aku masih semester satu, “aku harus benar-benar berhemat” ucapku dalam hati.

 Banyak berkah yang aku dapat setelah tinggal di masjid, aku mulai mengajar dibeberapa rumah, seperti guru private SD, mengajari anak SMP untuk persiapan UN, mengajari anak SMA pelajaran matematika, menjadi tentor akuntansi untuk mahasiswa, dan guru mengaji. Aku juga meraih beberapa mimpi yang sudah pernah aku tulis, seperti: memiliki motor, android, pakaianku juga sudah tidak itu-itu saja ke kampus, sehingga aku lebih semangat dalam belajar dan lebih percaya diri ke kampus. Aku juga meraih indeks prestasi cumlaude, dan beberapa prestasi lainnya diluar kampus seperti juara Essay, Juara MTQ, Juara MC, dan menjadi salah satu peserta terbaik pada beberapa acara Nasional di pulau Jawa.

Semakin naik semester kuliah, semakin banyak juga kebutuhan yang harus aku penuhi, tapi Alhamdulillah masih bisa aku tutupi melalui honor yang aku dapat dari mengajar, kerja, dan hasil jualan kripik di kampus, meski terkadang harus ngutang dulu karena desakan kebutuhan perkuliahan. Sejak semester 2, aku sudah mulai melamar ke beberapa bimbingan belajar, Alhamdulillah aku diterima dengan baik. Di bimbingan belajar aku mengajar anak SMP dan SMA, aku menjadi tentor termuda, karena kawan-kawanku yang menjadi tentor biasanya sudah semester 7, sarjana, bahkan ada yang sedang menempuh S2.

Kuliah, bekerja di masjid, dan mengajar adalah rutinitas yang aku lakukan setiap harinya, memang melelahkan tak jarang kalau pada hari libur kuliah sabtu dan minggu kesehatan tubuhku rasanya drop, sakit, tak bisa bangkit dari tidur bahkan terkadang pada hari kuliah. Aktivitas ini harus aku lakukan agar tetap bisa bertahan dalam hidup untuk meraih mimpi. Teori biaya peluang dan trade off  dalam ilmu ekonomi adalah salah satu penyemangat dalam hidupku. Ya, ketika teman-teman seusiaku banyak menghabiskan waktu untuk aktif dalam organisasi kampus, ngumpul bareng teman-teman untuk senang-senang dan wisata, aku harus menepis keinginan untuk hal itu dan menikmati seadanya, aku harus kuliah, bekerja dan mengajar untuk tetap bisa mempertahankan hidup di rantau. Tapi walaupun aktifitasku penuh dalam setiap pekannya, kuliah adalah hal utama bagiku dan Alhamdulillah prestasi akademikku tetap memuaskan.

Rasanya hidupku berubah menjadi lebih baik setelah tinggal di masjid, dari segi ekonomi, akademik, sosial masyarakat, dan lainnya. Sebagai salah satu ungkapan rasa syukurku atas keadaan yang aku alami saat ini, aku mengabdikan diriku untuk mengajar bahasa inggris kepada anak-anak panti asuhan secara gratis setiap hari sabtu. aku senang bisa berbagi kepada mereka, setidaknya ketika aku tidak bisa membantu mereka dengan materi, aku bisa membantu mereka dengan ilmu yang aku miliki walau hanya sedikit. Aku merasa geli ketika pertama kali mengajar sama mereka, mereka memanggilku abi (bahasa arab artinya ayah), tapi dengan lelucon aku menjawab “Karena abang orangnya masih muda, ganteng,…” cieeeeee… kata adek-adek yang cewek. Sambil tertawa aku melanjutkan omonganku,”…dan agar kita lebih dekat kalian panggil abang aja ya, hehe… kami semua tertawa. “Iya abi… eh bang” kata mereka.

Sekarang tanggungjawabku semakin besar, karena selain menguliahkan diri-sendiri, aku harus membiayai adik juga yang baru masuk kuliah di Universitas Sumatera Utara tempat aku belajar. Aku merasa bangga dan bersyukur berkat motivasi, usaha kerasnya, dan doa-doa yang di panjatkan selama ini dia lulus menyisihkan ribuan orang lainnya di SBMPTN.

 Sekarang aku terus menapaki proses demi proses mimpiku, meski kadang harus ngutang juga karena desakan kebutuhan hidup dan perkuliahan kami. Tapi InsyaAllah hutang itu akan terbayar setelah aku menerima fee kerja, fee mengajar, dari rezeki yang tidak disangka-sangka atau setelah Beasiswa BIDIKMISI cair. 

Kepahitan hidup telah banyak mengajarkanku tentang arti perjuangan. Tekad untuk berubah, Pantang menyerah, sabar, mendekatkan diri pada Tuhan dengan melaksanakan perintah wajib dan sunnah-sunnah-Nya, serta doa adalah alat yang ampuh untuk menghadapinya. Beasiswa BidikMisi, tinggal di masjid, kerja, dan mengajar adalah sebagian dari solusi yang Tuhan berikan untukku dalam meraih impian dan bertahan hidup di rantau. Aku yakin dengan Firman Allah SWT dalam Al-Quran : “Aku (Allah SWT) tidak mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya”, ”Setelah kesulitan itu ada kemudahan”.

Rasanya tak sabar menunggu fajar merambah esok pagi. Seiring itu, akan ayunkan langkah semangat meraih mimpi. Kutuliskan asa dengan tinta harapan di palung hati dan di buku diary biruku.

“Akulah Ahmad Zubeir Rangkuti, Anak desa yang akan membawa kemajuan di desa dan negeri ini. Aku ingin berlari sekencang angin. Angin yang membawa jalan kehidupanku meraih impian indah di masa depan”. Bismillah, semoga hari esok lebih baik.

Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, Karya Mahasiswa Bidikmisi, Tahun 2015

Leave a Comment