Oleh : Septian Nanda Rivaldi Gultom
Dalam perjalanan hidup, perjuangan adalah rangkaian sempurna dari mimpi, doa, air mata, serta dedikasi untuk mengubah betapa kecilnya diri sendiri dibandingkan kehebatan dunia. Agar menjadi hal besar yang mampu diakui oleh semua orang. Hal besar itulah yang biasa disebut sebagai perwujudan mimpi.
Namun, hidup bukanlah melulu soal bermimpi yang tinggi. Hingga diri sendiri lupa akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Lupa pada kesyukuran yang seharusnya terucap, akan kesederhanaan kehidupan yang telah direngkuh saat ini. Ini bukanlah soal mimpi pada saat mata memejam di malam hari. Pada saat tak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi pada diriku dalam kurun enam jam atau lebih waktu tidurku. Pada saat banyak orang yang bingung memetik buah yang mana dari pohon mimpinya yang nyaris tumbang.
Ini adalah soal lawatan ke alam pikiran saat kita tersadar. Lawatan ke dimensi waktu di ujung sana. Ketika aku melihat diriku sendiri berpakaian indah khas bangsawan sehingga aku tampak lebih gagah. Ketika itu aku dan keluargaku berkumpul, telah pulang dari pencapaian mimpi kami masing-masing.
Berbicara tentang perjalanan hidup, masa-masa sekolah adalah masa-masa emas yang sudah seharusnya kubingkai dalam etalase kaca di museum memoriku. Terkhususnya masa-masa sekolah dasar. Sebab aku pada masa-masa itu berbeda dengan anak-anak lainnya. Di saat yang terpenting bagi anak SD kebanyakan adalah bermain sepuasnya serta mendapat uang saku, yakni kepingan uang logam yang diberikan oleh ibu untuk dihabiskan dalam sekejap. Maka yang terpenting bagiku adalah ibuku menemaniku belajar dari awal pelajaran hingga bel tanda akhir pelajaran yang memancing kegirangan seluruh murid dibunyikan.
Ya, selama setahun pertama masa sekolah dasarku, ibuku seolah ikut kembali mengenyam pendidikan sekolah dasar bersamaku. Ikut pusing melahap perhitungan angka-angka yang memuakkan bersamaku. Tak heran apabila keadaan tersebut menarik perhatian banyak murid lain dan guru. Hingga ketika aku tak mendapati ibuku berada di sekolah, maka yang terdengar oleh murid-murid sekelasku serta guruku ialah tangisanku yang membuat kelas menjadi gaduh. Itulah aku yang manja dan cengeng. Yang tak tahu jika ibunya punya banyak pekerjaan di rumah. Padahal waktu itu ibuku sudah pamit pulang kepada guruku untuk mempersiapkan makan siang ketika aku sedang berada di toilet. Namun tahun-tahun berikutnya, aku sudah tidak ditemani oleh ibuku lagi. Entah karena apa, aku telah memiliki keberanian untuk ke sekolah sendiri.
Soal cita-cita, aku hanyalah seorang anak yang belum memafhumi apa hal yang tersirat di balik kata tersebut. Aku hanyalah anak kecil yang suka bergumul dalam kubangan air bersama teman-temanku ketika hujan selepas sekolah sehingga tubuh kami basah. Melepas sepatu lalu mengikatkannya ke ransel usang kami. Layaknya anak-anak lain, yang kutahu hanyalah menjawab apa cita-citaku dengan bangganya apabila ditanya seseorang.
Dan soal prestasi, tak dapat dibilang membanggakan, bahkan sebaliknya. Tak kubayangkan seperti apa perasaan ibuku mengetahui aku berada pada urutan ranking hampir paling akhir di kelasku. Padahal aku telah menyita banyak waktunya untuk menemaniku sekolah selama setahun. Namun aku mampu bangkit. Serupa putaran jarum jam, perlahan tapi pasti aku mulai unjuk gigi soal prestasi. Aku mulai banyak menyendiri bersama buku dan menolak ajakan teman-temanku untuk mengguyur badan sendiri tatkala hujan.
Hasilnya, aku mendapat ranking yang meningkat dari sebelumnya. Dari yang mulanya bertengger pada urutan ke-23, mulai meningkat ke posisi 20. Lalu pada tahun berikutnya meraih urutan ke-8 dan ke-5. Serta akhirnya pada semester ke-2 di tahun terakhir, aku mendapat predikat juara 2 kelas. Entah itu prestasi yang mampu mengubah stigma diriku di mata orang lain tentang aku pada masa lalu atau tidak, aku tak peduli. Yang pastinya aku telah melakukan hal yang menurutku cukup baik. Dan jika peningkatan ini diwakilkan oleh sebuah kurva, maka kurva yang tepat mewakili prestasiku saat itu adalah kurva fungsi kuadrat. Posisi awal prestasiku terletak pada titik terendah dengan perjalanannya ke titik-titik yang lebih tinggi. Manis sekali.
Sembari menempuh pendidikan di sekolah dasar, aku mengenyam pendidikan di sebuah madrasah (sekolah Islam) di desaku. Aku sangat setuju apabila ada yang mengatakan bahwa pendidikan pada sekolah Islam turut memperbaiki kualitas iman dan akhlak peserta didiknya. Dengan ketekunan, aku mendapat juara dengan angka termanis, angka satu. Aku juga menjadi pribadi yang lebih alim. Maka yang kulakukan setiap sorenya adalah mempersiapkan karpet untuk solat maghrib berjamaah di masjid dekat tempat tinggalku. Padahal waktu maghrib masih lama tibanya. Teja pun masih mengeja waktu agar dirinya tampak di langit barat.
Aku juga mulai mengikuti perlombaan di luar sekolah. Aku turut berpartisipasi dalam lomba cerdas cermat dengan materi pada sekolah madrasah antar perkebunan di PTPN-III dan pulang dengan membawa predikat juara tiga. Namun aku masih belum mampu bermain-main dalam mozaik Matematika, pelajaran yang paling tak kusuka. Aku belum mampu unjuk gigi pada pelajaran yang menjadi momok bagi sejuta manusia itu.
Selama masa SMP prestasiku awalnya baik, mampu meraih juara tiga besar. Namun pada tahun terakhir, prestasiku meluncur tajam ke bawah serupa potongan kurva sinus. Jatuh terjerembab ke peringkat lima belas.
Hingga ketika aku memasuki dunia SMA, barulah aku merasakan kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Gaji ayahku sebenarnya hanya cukup untuk makan. Sedangkan ibuku yang dulunya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah orang kaya, kini beralih menjadi penjual makanan di pabrik tempat ayahku bekerja. Sehingga penghasilan kedua orang tuakupun tak dapat disebut banyak. Namun untungnya saat itu pemerintah kabupaten di daerahku mengimplementasikan pendidikan gratis. Dan aku mampu melanjutkan pendidikan di sebuah SMA negeri di kota Rantauprapat.
Tiap harinya aku menggunakan transportasi umum, yakni bus. Sehingga yang sering kualami ialah berdesakan di dalam bus bobrok yang jalannya melenggang saat melalui jalan rusak seolah hendak mogok. Aku kerap terhimpit di antara barang-barang berupa sayur-sayuran dan keranjang ikan yang baunya amis sehingga memicu makanan yang kulahap sebelumnya seolah hendak keluar kembali. Aku juga berebutan bangku yang jumlahnya tak seberapa dibandingkan jumlah penumpang. Tak heran jika terkadang aku dan beberapa anak laki-laki lainnya menggantung di pintu bus tatkala bus hampir tak mampu lagi menampung penumpang di dalamnya, lalu kuyup saat hujan. Sebab jika aku tak turut dalam perjalanan bus pertama atau kedua, maka dipastikan akan terlambat dan tiba di sekolah dengan sambutan berbagai hukuman memuakkan. Seperti yang pernah kualami. Yakni pemanggilan orang tua ke sekolah yang membuatku menitikkan air mata. Sebab pihak sekolah mengancam untuk memindahkanku ke sekolah lain. Malu, karena bukannya menghadirkan ibuku ke sekolah atas prestasiku, malah menghadirkannya karena kesalahanku.
Masa SMA-ku bisa disebut sebagai masa dimana aku banyak mencoba hal baru dan banyak gagal. Diri ini seolah hendak menjelajahi ilmu pengetahuan seliar-liarnya. Sejak awal memasuki SMA, aku mengikuti ekstrakurikuler rohis dan paskibraka. Sejak dulu aku memang berkeinginan untuk turut menghentakkan kaki bersama pasukan pengibar bendera lainnya, mengantarkan sang saka merah putih ke tiangnya.
Soal perjuangan di SMA, aku selalu berusaha keras. Selalu berusaha mendapatkan nilai manis pada pelajaran matematika. Walau pernah suatu kali melakukan remedial untuk pelajaran tersebut hingga dua kali dan itupun masih mendapat nilai nol. Namun berkat kemauanku untuk bergumul dengan buku, aku hampir selalu mendapat predikat juara kelas dan juara umum. Dan mungkin karena prinsip kuatku untuk selalu berkepribadian rapi, aku mendapatkan predikat siswa paling rapi pada saat kelas XI. Serta yang paling membuatku bahagia ialah ketika aku dianugerahi predikat siswa teladan oleh pihak sekolah.
Untuk prestasi di luar sekolah, tak secemerlang prestasiku di dalam sekolah. Aku mengikuti berbagai lomba seperti lomba karya tulis tingkat kabupaten, lomba karya tulis otonomi daerah yang diadakan Isran Noor, lomba debat bahasa inggris, serta turut dalam kegiatan OSN se-Kabupaten Labuhanbatu untuk mata pelajaran fisika dan ilmu bumi. Namun kesemuanya gagal. Dan walaupun gagal aku merasa puas karena telah mencoba. Karena menurutku, hidup bukan cuma soal bermimpi yang tinggi, namun juga soal seberapa besar kemauan untuk mencoba bukan hanya hal besar, melainkan juga hal kecil.
Untungnya pada perlombaan secara berkelompok, aku dan teman-temanku meraih juara 1 pada perlombaan teater PMI dan juara 2 pada perlombaan teater bahasa inggris tingkat kabupaten.
Aku tak terlalu banyak berorganisasi saat SMA. Aku hanya bergabung di OSIS sebagai koordinator bidang seni dan budaya. Yang kesibukannya cuma meng-update isi mading di pojokan sekolah dan di kelas. Menempelkan karya pribadi ataupun info-info yang kukutip dari berbagai majalah. Pada akhir kelas XI, aku mengikuti pelatihan pendidikan karakter yang diadakan HIMLAB. Lalu terpilih mewakili kabupaten Labuhanbatu dalam kegiatan Forum Anak Sumatera Utara juga Jambore Anak Sumatera Utara di Medan.
Pada masa-masa akhir kelas XII, aku disibukkan dengan les tambahan di sekolah dan les di sebuah bimbingan belajar. Untuk biaya bimbingan belajar, aku menggunakan uang tabunganku sebab orang tuaku tak mempunyai uang lebih untuk hal tersebut. Ketika jalur SNMPTN dibuka, aku memilih jurusan Matematika. Aku juga mencoba peruntungan pada jalur lain, yakni USMI IPB.
Namun, tak ada yang tahu rencana Tuhan. Aku gagal pada kedua jalur tersebut. Hal ini bukannya membuatku sedih. Aku malah senang karena akan turut berkompetisi pada SBMPTN 2014. Dan pada saat senja nan manis itu, ketika langit lazuardi perlahan berubah layung, aku tunduk menekuk diri. Sujud saat membuka pengumuman hasil SBMPTN. Aku lulus pilihan pertama, pada Jurusan Matematika Universitas Sumatera Utara dan juga lulus beasiswa bidikmisi. Serta yang lebih membahagiakan lagi, aku mendapat beasiswa penghargaan dari Pemkab Labuhanbatu karena telah lulus di perguruan tinggi negeri.
Maka pada hari selanjutnya, dengan pakaian terbaiknya, orang tuaku menemaniku pada acara penyerahan beasiswa Pemkab Labuhanbatu. Aku merasa sangat bahagia. Orang tuaku seolah mengantarkanku pada pencapaian mimpiku selanjutnya, pada perjuangan dalam pergumulan ilmu paling manis, Matematika. Bidang ilmu yang sekarang sangat kugemari.
Sumber : Buku Langkah Tak Beraturan, 2015